Satu Paragraf: The Star Maker

Di bawah bayang-bayang perang yang kelihatannya akan lebih buruk daripada perang Dunia Pertama, penulis fiksi Olaf Stapledon menerbitkan Star Maker (1937). Sang Narator dalam cerita ini dikisahkan dapat mengembarakan pikirannya dan memasuki ruang kosmis dengan kecepatan fantastis. Sang Narator bisa bolak-balik antara masa lalu dan masa depan. Memakai kekuatan telepati, pikiran Sang Narator terhubung dengan pikiran makhluk dari jagat lain. Bersama-sama, mereka bertualang melintasi ruang dan waktu dan menyaksikan kehidupan di jagat yang berbeda-beda. Tak ada jagat yang persis sama. Jenis penghuninya pun beraneka rupa. Ada yang kurang cerdas sehingga tak mampu mengatasi persoalan sehari-hari, ada yang cerdas tapi tidak punya kemauan sosial atau politik, dan ada juga yang terancam musnah oleh kemajuan teknologinya sendiri, atau punah karena faktor lingkungan semisal perubahan iklim. Tapi, terlepas dari perbedaan itu, semua ditandai dengan nasib yang sama. Semua sedang menuju kehancuran. “Alangkah boros dan sia-sia,” Sang Narator menggerutu. Di tengah cekaman rasa cemas dan takut, Sang Narator tiba-tiba  merasakan kehadiran akal budi kosmis. Sang Narator terangkut ke dunia mitos atau mimpi fantastis, tempat Sang Narator menyaksikan daya kreatif membentuk dunia. Rupanya semua jagat adalah hasil coba-coba. Sebuah eksperimen dari Roh Mutlak dan Kekal, the Star Maker. Setiap eksperimen memunculkan satu jagat. Jagat pertama berupa tetabuhan. Belajar dari sunyi dan bunyi, Star Maker menciptakan melodi. Semua itu hanya berupa rambatan waktu. Star Maker lalu mencoba beraneka kombinasi untuk menghadirkan waktu dan ruang. Ciptaannya makin lama makin pelik. Begitu juga isinya. Alam semesta kita ini lahir di pertengahan jalan. Dan Star Maker kagum. Star Maker menyukai dunia yang elok dan cukup rumit ini. Tapi, suka dan kagum tidak membawa keselamatan. Cacat pada rancangan sedikit saja otomatis menggiring alam semesta ke akhir yang tragis, dan berarti kesengsaraan menimpa penghuninya. Dengan agak kurang sabar kendati bukannya tanpa rasa takzim, Star Maker menaruh alam semesta kita ini pada deretan alam semesta sebelumnya. Dan di situ, kepunahan datang pelan-pelan dengan sendirinya. Star Maker pun berlanjut ke rancangan berikutnya. Adapun Sang Narator mulai penat. Dunia mainan Star Maker tampak makin asing bagi Sang Narator. Sang Narator tidak lagi  bisa memahaminya. Sekejap terlihat rancangan penghabisan jauh di masa depan, di penghujung aneka eksperimen. Laksana gerakan terakhir sebuah simfoni, kosmos masa depan merangkum melampaui “semua teras gerakan sebelumnya” sekaligus melampauinya. Alih-alih bersuka cita, Sang Narator merasa terpukul. Sang Narator geram sekaligus takjub. Kosmos penghabisan adalah kosmos dalam keseimbangan mutlak. Penghuninya punya kekuatan tilikan budi sepenuh-penuhnya dan spiritualitas yang hampir-hampir sempurna. Tapi untuk apa? Dalam karya puncak Star Maker, segala sesuatu sudah selesai. Tak ada aliran energi, tak ada kreasi, tak perlu visi. Segalanya serba-rata. Semua serba seimbang. “Akulah embrio yang bertarung dalam telur kosmis. Sementara intinya membusuk,” dengan puas Sang Narator bergumam. Ia bukan lagi si pengelana. Ia adalah kosmos itu sendiri. Ternyata, pikir Sang Narator, bukan belas kasih dan bukan kemurahan hati yang menjelmakan dirinya. Star Maker tidak baik dan tidak pula jahat. Star Maker hanya seniman yang sibuk menilai karyanya sendiri. Karena tidak dapat membatalkan cacat yang tertanam dalam rancangannya, ciptaan yang gagal oleh Star Maker lenyapkan. Lalu Star Maker mulai lagi dari permulaan. Demikian berlangsung hingga hasratnya terpuaskan. Sang Narator pun pulang ke Bumi dan menerima takdirnya. Sang Narator tidak paham dengan apa yang ada dipikiran Star Maker. Tapi, sedikit banyak Sang Narator tahu apa yang dikerjakan oleh Star Maker. “Aku, kata Sang Narator menumpah seisi emosinya: “adalah sepotong momen pendek dalam kontemplasi rasional-nan-dingin oleh Roh Mutlak yang haus kreativitas.”

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

HMI, Alasan Mengapa Aku Menjadi Bagian darinya

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Kecabulan Senja: Islam Tanpa Bercinta

Teori Kenangan