Sajak Bual: Hujan Yang Merindu

Tengoklah!!

Coba kau tengok dulu hujan yang turun itu. Paling tidak, kau bisa intip dari balik jendela kamarmu jika kau benar-benar tidak menyukainya. Bagaimana? Romantis bukan. Walaupun sedikit basah.

Sebagian orang mengutuk hujan karna tidak bisa berpergian. Sebagian lainnya merindu karna kebutuhan.

Aishh.... Kenapa manusia selalu menimbang untung-rugi  terhadap segala sesuatu ini? Bukankah sudah ada sabdanya jika hujan adalah rahmat Tuhan? Maka berdo’alah jika hujan telah menyapa bumi.

Aku selalu merindukan turunnya hujan. Apalagi hujan dipertengahan bulan Juni. Rinainya yang membias dan menyapu halus pada dindang hati, nuansa bau basahnya yang menentramkan jiwa-jiwa sepi, dan tetesannya yang tersorot pijaran lampu dan terseret oleh warna kemilauan rumah-rumah tua, seakan membuat ruang dan waktu bersekutu menjelmakan rindu.

Ya, rindu pada seraut wajahmu, bermuka sendu.

Pada kota ini, di tempat aku berpijak, hujan dan kota serasa saling melengkapi. Kota ini seakan bertambah istimewa saat hujan telah turun.

Kota istimewa itu adalah Jogja. Beberapa hari ini Jogaja sedang diderai hujan. Tidak hanya menjadi istimewa, hawa dinginnya seolah mampu menyapa rinduku padamu saat hujan telah turun.

Bukankah keistimewaan ini tampak menyedihkan bila tak dinikmati? Jadi maukah kau menaiki sepeda motor tuaku ini, Dinda?

Jangan kau mubazirkan derai hujan yang turun ini, Dinda. Telah lama pula kan kau tak menyapa hujan yang turun? Ayolah, Dinda.... sebelum hujan tidak turun lagi, aku ingin berbasah-basah sekali saja denganmu, di Pantai.

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

HMI, Alasan Mengapa Aku Menjadi Bagian darinya

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Inuyasha dan Kikyo: Cinta Tak Sampai

Puisi: Langit Jogja