Posts

Showing posts from 2018

Menelaah Pengetahuan, Sembari Melihat: 'Apa Sebenarnya Ada?"

‘TAHU’ DAN ‘PENGETAHUAN’ Manusia adalah mahluk sempurna. Ia dibekali akal, hati dan indera untuk menjelma sebagai mahluk yang paling berpengaruh di muka bumi ini. Inovasi tiada henti dan muncul dari asahan ketiga kreasi potensi tersebut, telah menghasilkan kebudayaan dan peradaban yang sangat kompleks. Tapi pertanyaannya, dari manakah hasrat berpengetahuan itu datang hingga kita sampai pada peradaban dan kebudayaan di abad pogresivitas dan degradasitas abad 21 ini? Jawaban sederhananya: rasa ingin tahulah yang membuat manusia mengetahui apa yang sebelumnya ia tidak ketahui, karena sudah jadi fitrah manusia untuk ingin tahu terhadap segala realitas, sewaktu dilahirkan tidak memiliki pengetahuan apapun. Itulah mengapa Aristoteles mengatakan bahwa “setiap manusia, kodratnya adalah ingin tahu” . Itu pula yang menyebabkan mengapa Socrates sampai hati berkata “saya tidak tahu apa-apa, satu-satunya yang saya ketahui adalah saya tidak tahu” . Juga rasa kagum terhadap apa yang ing

Pulang, Karya Leila S. CHudori

“Aku ingin pulang ke rumahku, Lintang. Ke sebuah tempat yang paham bau, bangun tubuh, dan jiwaku. Aku ingin ke Karet.” [Kata Dimas Suryo kepada anaknya, Lintang.]   Leila S. Chudori memang dahsyat memainkan emosi pembacanya. Dibuka dengan latar ketika pecahnya prahara G30S–65 (dan ditutup dengan meledaknya demonstrasi 1998), Leila tidak menampilkan sejarah dalam legitimasi benar dan salah, melainkan tentang bagaimana sejarah membentuk kemanusiaan manusia: pada mereka yang dituduh pengkhianat negara dan atau simpatisan Komunis, serta tanggungan dosa turunan bagi anak mereka yang dituduh PKI yang bahkan belum lahir. Peristiwa pecahnya G30S–65 dalam buku sejarah Indonesia memang menjadi sejarah paling kelam sekaligus yang paling kabur. Itulah mengapa secara pribadi, dalam Bincang Buku ini, tidak ingin membahas sejarah dalam benar–salah, melainkan membahas bagaimana Leila memaparkan efek dari sejarah tersebut. Toh, bagaimanapun juga novel tetap karya fiksi. Tapi yang jelas, melalui

Satu Paragraf: The Star Maker

Di bawah bayang-bayang perang yang kelihatannya akan lebih buruk daripada perang Dunia Pertama, penulis fiksi Olaf Stapledon menerbitkan Star Maker (1937). Sang Narator dalam cerita ini dikisahkan dapat mengembarakan pikirannya dan memasuki ruang kosmis dengan kecepatan fantastis. Sang Narator bisa bolak-balik antara masa lalu dan masa depan. Memakai kekuatan telepati, pikiran Sang Narator terhubung dengan pikiran makhluk dari jagat lain. Bersama-sama, mereka bertualang melintasi ruang dan waktu dan menyaksikan kehidupan di jagat yang berbeda-beda. Tak ada jagat yang persis sama. Jenis penghuninya pun beraneka rupa. Ada yang kurang cerdas sehingga tak mampu mengatasi persoalan sehari-hari, ada yang cerdas tapi tidak punya kemauan sosial atau politik, dan ada juga yang terancam musnah oleh kemajuan teknologinya sendiri, atau punah karena faktor lingkungan semisal perubahan iklim. Tapi, terlepas dari perbedaan itu, semua ditandai dengan nasib yang sama. Semua sedang menuju kehancuran. “

Lereng Senja: Hilang Ke Manakah Agaknya?

Teruntuk langkah kaki yang tiba-tiba hilang di Lereng Senja: “Hilang ke manakah agaknya?”   Yang ingin kukejar arahnya jauh Sudah jauh, aku tidak tau arah yang kutuju Yang ingin kuhampiri sangat tinggi Sudah tinggi, aku tidak tau pula cara mendaki   Tidak maukah kau kemari, Adinda? Sudah kusedikan taman sunyi Di situ ada bunga-bunga hijau yang kuncup, ingin mekar dan terus hidup   Tapi jika sudah inginmu adalah bulan yang kau tuju Maka yang tertinggal hanya bunga hijau itu, Yang berada di langit abu-abu  Yang kebingungan dengan pilihannya mau mekar atau tidak  Untuk menghantar kepergianmu. x

Sajak Bual: Hujan Yang Merindu

Tengoklah!! Coba kau tengok dulu hujan yang turun itu. Paling tidak, kau bisa intip dari balik jendela kamarmu jika kau benar-benar tidak menyukainya. Bagaimana? Romantis bukan. Walaupun sedikit basah. Sebagian orang mengutuk hujan karna tidak bisa berpergian. Sebagian lainnya merindu karna kebutuhan. Aishh.... Kenapa manusia selalu menimbang untung-rugi  terhadap segala sesuatu ini? Bukankah sudah ada sabdanya jika hujan adalah rahmat Tuhan? Maka berdo’alah jika hujan telah menyapa bumi. Aku selalu merindukan turunnya hujan. Apalagi hujan dipertengahan bulan Juni. Rinainya yang membias dan menyapu halus pada dindang hati, nuansa bau basahnya yang menentramkan jiwa-jiwa sepi, dan tetesannya yang tersorot pijaran lampu dan terseret oleh warna kemilauan rumah-rumah tua, seakan membuat ruang dan waktu bersekutu menjelmakan rindu. Ya, rindu pada seraut wajahmu, bermuka sendu. Pada kota ini, di tempat aku berpijak, hujan dan kota serasa saling melengkapi. Kota ini seakan bertambah istimewa

Sajak Bual Kisah Pemuda dibalik Pintu

Dengarlah!! Coba kau dengarkan suara rintikan hujan turun itu, Dinda. Sebagaimana pujangga menyebutnya ‘nyanyian para perindu’, karena setiap tetes air yang jatuh itu laksana pertemuan Adam dan Hawa yang terpisah oleh jauhnya jarak dan waktu, seorang pemuda terus saja memanggil namamu. Tak ada malaikat menjaring laba-laba di sana. Hanya pemuda kesepian berselimut sunyi sedang menyulam benang-benang kasih yang sudah kusut. Bersama kenangan yang tersimpan rapi diingatan, pemuda itu terus saja menenuni berbagai kata yang berserakan, dan mencoba merambati waktu menuju masa lalu untuk mendefinisikan makna bahagia paling sederhanamu. Apabila pemuda itu telah terperanjat dari sadarnya, tersesatlah dia dari segala kerumitan kata. Kerumitan kata yang amat sukar dia bahasakan. Ayolah, dinda, mendekat!! Tak maukah kau berbelas hati kepadanya? Apabila kau tengok pemuda itu dari balik pintu. Ada bola mata terpancar mengeluarkan sayap malaikat dan mencoba terbang mencuri seonggok hati berbentuk cin

Sajak Bual: Dua Pilihan

Untukmu yang pernah berada dalam permainan logika, saat ditanya hanya menjawab “iya”. Aku tak tahu kenapa aku bertingkah seperti ini. Logikaku selalu lumpuh kalah  di dekatmu. Logika yang bermain pada kecocokan itu, tidak sedikitpun terlintas. Aku dan kamu, rasa-rasanya tidak ada cocok-cocoknya. Yaa... setidaknya itu yang selama ini kurasakan. Sulit aku terhubung dengan tutur bahasamu. Candaanku pun demikian, walau kau balas ‘hahaha..’ Anehnya, dari sekian banyak ketidak-cocokan itu, kenapa hati ini hanya mematri namamu? Luruh dan ringkukku pun hanya padamu. Beribu kali kumenjauh dan beribu kali pula aku menghindar, aku masih tetap berhasil kau sedot kembali didekapmu. Memang susah bila pandangku dilekatkan pada dirimu. Ruang imajiku pun hanya terisi senyummu: membawaku terbang ke nirwana bersama syair-syair melankolis, hingga aku tertenun oleh mozaik cinta begitu puitis. Atau membelah atmosfir berlapis-lapis bersama paus akrobatis dan membawaku ngebut menuju rasi bintang pal

Seperti Mimpi

Semua ini seperti sebuah mimpi saat kau mulai bangun dan membuka katup matamu pada pagi hari yang dingin sekaligus begitu menggigit, satu pertanyaan muncul untuk memastikan: “Apakah ini nyata?” Sebentuk siluet dengan bayangan hitam rambut terurai panjang membelah pandangmu, kau kaget. Buru-buru kau buka pintu kamarmu sebelum perempuan itu mengetuk. Saat pintu kamar itu terbuka, perempuan itu tersenyum: sebuah senyum yang mampu mengusap begitu halus pada dinding hati di masa lalu. Tapi tanya yang masih menggantung di benakmu, sebelum kau cubit pipi kananmu untuk memastikan semua itu bukanlah mimpi, tatapan heran dari perempuan itu lebih dulu mengusik tanyamu –apakah ini nyata?. Tiba-tiba...... “Kau tak percaya aku ini nyata?” tanya perempuan itu seolah hendak memastikan kesadaranmu. Kesadaran apa kau masih di ruang mimpi atau sudah beralih ke ruang lebih nyata, lebih pasti. Kau tentu saja masih tak percaya. Berbagai pertanyaan muncul dan berhamburan menyerang ben