Posts

Showing posts with the label Curhatan

Saru Paragaraf: Warna

Hujan. Jalanan basah. Langit menampakkan wajah muram tanpa sebuah salam hangat. Gerombolan manusia yang berjalan membawa kesedihan dan kebahagiannya masing-masing. Perasaan yang kadang hanya bisa diterka dari raut wajah, ekspresi atau tingkah laku. Bagaimanapun hujan membuat hari ini dingin dan melelahkan. Satu kesibukan datang dengan begitu kejam dan menyedot habis seluruh perhatianku hingga tidak lagi memiliki kesempatan untuk mendatangkan pikiran tidak penting seperti biasanya. Arah jarum jam seolah bergerak tergesa-gesa. Seperti tidak ingin bersahabat denganku dengan sedikit saja memberikan jeda untuk bermalas-malasan barang sejenak. Eh, aku salah. Mengejar sesuatu rupanya membuat satu detik menuju 60 menit menjadi begitu lambat. Seperti hari ini, di mana aku terjebak dalam pusaran waktu yang memaksaku mencintai kenyataan. Tentang hari jum’at dengan hujannya yang deras, dan tentang hari jum’at yang tak mampu menghadirkan ruang untukku memperhatikan banyak hal, termasuk warna. Hingg...

28 Oktober 2023

Pada akhirnya saya tahu letak kelemahan yang saya miliki. Ternyata saya masih hidup dalam dunia di mana putih adalah putih dan hitam adalah hitam. Saya masih saja menafikkan bahwa ada abu-abu di antara kedua warna tersebut. Akibatnya saya selalu saja menjadi korban atau tumbal orang lain. Atau dengan kata lain, saya masih terjebak dalam ruang idealisme –jika polos atau bodoh tidak mau saya akui. Kehidupan dunia proyek tidak semudah apa yang saya pelajari dalam ruang kuliah. Ternyata dunia proyek bukan soal perencanaan dan pengestimasian resiko semata, tapi penuh dengan intrik, saling sikut, cari aman dan cari muka. Selain itu apa yang dulu saya yakini bahwa pengalaman bukanlah tonggak utama membentuk diri ternyata keliru besar. Walaupun pada satu titik saya masih tetap saja menyakini bahwa pengalaman bukanlah guru terbaik. Rasionalisme adalah segalanya. Ya, lagi-lagi saya masih apologi.

Sebut Saja Namanya L

Sebut saja temanku ini L. Dalam kamar L menghadap cermin dan memandang diri sendiri. Memperhatikan dan memastikan bahwa dia masih sama. Seperti pada usia ke 23 tahun lalu ketika membuat keputusan besar: berkomitmen tidak menikah. Sejenak lalu, kerut keningnya menegang, seolah meneropong suatu masa. Kini, pada usia yang menjajaki angka ke 30 tahun, saat kami dipertemukan dalam satu janji, tepat setelah beranjak dari hadapan cermin, ketegangan pada kerut keningnya hilang, senyum sumringah begitu tegas tersimpul. Rona merah terpancar. L bahagia. Alih-alih bertanya aku memilih diam, termenung, meresapi dan coba memahami pilihan hidupnya itu. Dari dulu sampai saat ini. Sebab aku tahu pilihan itu berbuntut problematis dan menuntut konsekuensi logis daripada psikologis semata. Kita mahfum betul itu. Tuduhan traumatis selalu dilekatkan kepadanya. Alih-alih memahami dan mencerna berbagai argumen yang dia dasarkan sebagai dalil tidak menikah. Kubilang ini problematis. Tricky . Alias pelik. Da...

Satu Paragraf: Adolf Eichmann

Satu waktu aku pernah memilih sebuah buku tentang pengadilan Adolf Eichmann. Aku memiliki gambaran yang agak samar tentang dia sebagai penjahat perang Nazi, tapi tidak ada minat khusus terhadap orang ini. Kebetulan saja buku ini terlihat olehku saat ke perpustakaan. Aku mulai membaca dan belajar bagaimana letnan kolonel yang sangat praktis di SS ini, dengan kacamatanya yang berbingkai logam serta rambut yang menipis, tidak lama setelah perang dimulai, ditugaskan oleh markas besar Nazi merancang sebuah ”penyelesaian akhir” bagi bangsa Yahudi —yaitu pemusnahan— dan bagaimana dia meneliti cara-cara yang paling baik dalam melaksanakan pemusnahan itu. Kelihatannya hampir tidak pernah terlintas dalam benaknya mempertanyakan moralitas atas tindakannya. Yang dia pikirkan hanyalah bagaimana cara terbaik membinasakan bangsa Yahudi dalam waktu yang sangat singkat serta biaya serendah mungkin mengenai sebelas juta orang Yahudi yang menurut dia harus dimusnahkan di Eropa. Eichmann mempelajari berap...

Satu Paragraf: The God Delution

The God Delution. Adalah sebuah keberanian menerbitkan buku penuh kontroversi ini dalam bahasa Indonesia. Meski buku ini bukan buku baru, terbit 2006, tp polemik yang ditimbulkan masih bergaung hingga saat ini. Buku ini bahkan dianggap sebagai kitab sucinya orang atheis. Dalam pengantarnya saja, Dawkins secara gamblang mengatakan dg penuh harap yang telah membaca bukunya ini dapat mengantarkan pembacanya pada satu pemahaman yang sama: menjadi ateis. Tentu saja kalimat penuh agitasi ini menyebabkan para pemuka agama di Amerika maupun Eropa yang mayoritas beragama Kristen marah dan membuat buku tersebut mendapat cercaan di mana-mana. Sisi lain, sebenarnya, keinginan membaca buku ini sudah terbesit berapa tahun silam, 2014, saat begitu asik mencerna The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World karya Paul Davies. Tapi, entah kenapa tenggelam begitu saja oleh kesibukan tak begitu produktif. Kemudian, beberapa waktu lalu, dalam satu perbincangan pada satu malam yang tidak begit...

Satu Paragraf: Nyai Ontosoroh

Saya selalu tertarik dengan perempuan yang memiliki kesadaran bahwa ia, sebagaimana manusia seperti halnya laki-laki, juga memiliki dimensi privat yang tak boleh diredupkan, dipatahkan dan dihilangkan oleh kejumudan kolektifitas budaya kita. Seperti Nyai Ontosoroh. Ya, meskipun karakter ini fiktif dalam karya Tetrologi Buru Pramoedya Ananta Toer, ia selalu menjadi prototipe saya dalam melihat bagaimana seorang perempuan harus berfikir dan bertindak. Salah satu perkataan Nyai Ontosoroh yang sangat terekam dalam kesadaran saya adalah “Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai” . Kesadaran yang sangat bertenaga dilontarkan Nyai Onyotosoh ini membuat saya dulu, saat pertama kali membaca Tetrologi Buru, karna saya hidup dalam kebudayaan di mana laki-laki punya otoritas dan power tak bisa dibantah, membuat saya tidak bisa membayangkan bagaimana tekstur hidup seorang perempuan yang tak mau berkalang lelaki...

Satu Paragraf: Selamat Jalan, Mbak

Sebelumnya, bagiku kematian adalah entitas berbeda dari kehidupan. Mereka mandiri dengan wujudnya masing-masing, dalam eksistensi. Jika kehidupan ada di sebelah kanan, kematian ada di sebelah kiri. Mereka terpisah oleh benteng kokoh tak berwujud sebagai pembatas. Benteng itu begitu halus. Seperti gelembung udara yang mengisi tubuh kita tanpa kita sadari. Mungkin karena keyakinan akan definisi tersebut aku hampir tidak pernah menangis jika salah satu keluargaku meninggal dunia. Apa aku begitu kaku dan tak perasa? Entahlah. Seperti saat kakekku meninggal dunia. Alih-alih menangis dan ikut meramaikan kesedihan, aku malah melakukan hal praktis. Persis seperti mekanik pada sebuah mesin otamatis. Ikut menyiapkan kain kafan, air dan memandikannya. Juga menyiapkan keperluan apa saja untuk para pelayat. DLL. Itu juga terjadi saat nenekku meninggal dunia. Sepertinya pada sebuah tempat yang tersembunyi dalam otakku sudah diberi perintah “jangan menangis” dan “jangan bersedih”. Tentu aku pernah...

Satu Paragraf: Absurditas Sartre, Nietzsche dan Camus

Saat kulari ke hutan dan berteriakku seperti tarsan, hutan dan penghuninya hanya asik dengan dirinya sendiri. Saat kulari kepantai dan berteriak “Aku mencintaimu”, hanya deru ombak sebagai jawaban. Manusia menciptakan dirinya sendiri, dunialah yang absurd, bukan kita; dan Jean-Paul Sartre berkata: “Aku tahu ini adalah dunia, Jul. Dunia telanjang ini tiba-tiba saja memunculkan dirinya sendiri. Aku menjadi gusar dengan kehidupan kotor dan absurd ini.” Melalui modus kesadaran ini, Sartre mencoba memberikan pandangan bahwa manusia memiliki makna dalam dirinya sebagai makhluk berpredikat bebas yang menyatu dengan pilihan. Kebebasan adalah pilihan. Manusia sejati adalah ketika pilihan kebebasannya dapat ditentukan tekanan dan intimidasi, dan Friedrich Nietzsche sepakat: “God is dead.” Dari Nietzsche, dimulailah babak baru kehidupan manusia di dunia ini. Sebut saja babak alienasi, yaitu saat manusia mengalami keterasingan dari luar dirinya saat menentukan pilihan. Setiap pilihan, kata Nietzsc...

Satu Paragraf: Setelah Nonton Drakor

Dua hari ini, karena tenggat paket data tersisa beberapa hari lagi dan sisa kouta masih banyak, aku meghabiskan waktu dengan nonton beberapa film. Baik itu Jepang, China dan Drakor. Sama seperti pengarang sastra lama yang punya kebiasaan menjadi malaikat maut bagi tokoh utamanya; seperti dalam novel Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang hingga Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk; aku juga menemukan hal yang sama pada film-film yang kutonton. Seperti ada sebuah kesan kesengajaan dari penulis skenario untuk mencabut nyawa tokoh utama mereka. Bisa diawali dengan penyakit kronis mematikan yang tidak bisa disembuhkan atau tiba-tiba langsung mati aja gitu. Aku tidak tahu pasti apa yang mendasari atau melatari unsur kesengajaan ini. Tapi, kalo aku diperbolehkan membuat sebuah kemungkinan, atau spekulusi, seperti kebiasaaan pengarang sastra lama yang punya hobi bener membunuh tokoh utama mereka dan mengkontekstualkan pada film-film yang kutonton, sepertinya mereka juga ingin membawa pesan “...

Korespondesi: Untuk Zi, Arti Sebuah Desa Bagi Perantau

Bagaimana mestinya aku mulai, Zi? Haruskah aku memperagakan seperti Engku Zainuddin ketika menyurati Rangkayo Hayati untuk pertama kalinya: “Gemetar, Encik!   tanganku ketika mula-mula menulis surat ini.” Hahahahaha Sebagai permulaan dalam korespondensi ini, aku tertarik dengan balasan teman korespondesiku yang lain dengan mengatakan supaya melihat Indonesia bukan lagi dari cerminan kaca besar yang tidak dapat kita selesaikan secara sendirian, melainkan dari sudut kecil dan tampak dan dekat dengan kita : desa. Kamu sepertinya akan setuju, saat kita melihat Indonesia dari kaca mata besar, betapa miris negara ini menjadi sebuah bangsa: Drama pertikaian beda pandangan yang dibalut kepentingan politik praktis dari kalangan elit telah memecah belah rakyat dan akhirnya intoleransi berhasil mengkusutkan tenunan bingkai kebhinekaan kita. Jadi aku tak mau berbicara mengenai Indonesia. Bukan karena sudah muak, tapi rasa simpatiku sudah mulai terkikis bersamaan dengan makin kuat dan s...

Korespondensi: Untuk Sahabat Bualku, RIke Fisabilillah

Boii!! Seberapa sibuk kau bergulat dengan waktu? Padahal sudah kunanti-nanti kau memulai korespondensi seperti permintaanmu tapi tidak kunjung juga hadir. Apa kau tidak bisa sedikit saja menyisihkan jeda waktu dan berfikir bahwa di dalamnya ada ruang kosong untuk paling tidak bernostalgia dengan kawan lama sepertiku? Kesibukan apa yang menggerogotimu di sana, boi, di tempatmu? Seolah keenggananmu memulai menandakan, selain budaya senioritas atau kanda-dinda, waktumu akan terbuang sia-sia, dan berkata:   “Maaf Boi, aku harus fokus menata hidupku karena waktu tak bisa lagi kukompromikan secara negatif sebagaimana dahulu. Itu hanya akan menambah penyesalan masa lalu yang terus saja hadir dan menerorku seperti mimpi buruk dan membangunkanku tengah malam sekaligus membuatku berkeringat dingin. Hari ini aku harus mensiasati dan berkawan dengan waktu. Tak ada lagi main-main. Tak ada lagi bual-membual.”   Oke, fix. Jika itu yang kau pikirkan, tidak apa. Tapi jangan salahka...

Korespondensi: Untuk Sahabat Bualku, Wikho Syadjuri

Hallo bung. Dalam keadaan hati senyap dan tidak bergairah, entah kenapa aku teringat padamu. Kau menjelma bak siluet dalam keremangan senja tanpa diundang: tawa konyolmu, seduhan kopimu, bualanmu dan segenap yang melekat pada dirimu muncul dalam satu entitas bernama kenangan lama. Sial!! Harusnya kenanganku tidak tertuju padamu, melainkan pada gadis impian yang kuharap bisa menemani hidupku dan menghiburku dalam masa-masa kelam di masa depan. Tapi sial, malah kau yang muncul.   Shitt!! Oya, berapa lama kita sudah tak bersua Bung? Sesekali, akankan kau di sana juga pernah mengingatku dan merindukan bualanku sebagaimana dahulu? (Tidak usah kau jawab jika pertanyaan ini membuatmu risih) Bagaimanapun Bung, sebagai sahabat yang coba untuk baik, kudoakan kau dari sini, dari tanah kelahiranku yang asin dan tidak mengenal semi ini agar kau dalam keadaan baik-baik saja di sana, meskipun aku tahu dan dengan gampang dapat kutembak, dalam keadaaan hatimu paling dalam, kau masih diliput...

Satu Paragraf: Apa Aku Bahagia?

Aku menghadap cermin dan memandang pantulannya. Aku melihat aku. Aku coba tersenyum, dan sejumput kenangan menjemput dan membawaku berkelana jauh sekali: pergi ke masa lalu dan melihat aku yang dulu. Aku jadi nostalgia bila kuingat masa kanak-kanakku yang begitu riang, masa pelajar atau remajaku yang penuh kegembiraan dan masa awal mahasiswaku yang penuh dengan optimisme. Aku juga teringat kembali masa pergaulanku dengan kawan-kawan lama dengan segala adegan dan mimpi-mimpi indah yang mungkin takkan pernah aku temui lagi. Kini, mereka telah maju kedepan dan meneruskan kemantapan garis hidupnya, dan tinggallah aku yang mungkin terus di belakang, tanpa berani berbuat apa-apa, terjebak dalam perenungan kesia-siaan: sebenarnya apa garis hidupku ini? Aku berpikir: “Apa aku terlihat menyedihkan?” Lalu berkata lagi kepada diri sendiri: “Apakah aku merasa sedih?” Sebenarnya, apa itu kebahagiaan? Apakah bahagia harus sama seperti mereka? Kenapa mereka tak bisa mengerti bahwa aku hidup dengan h...

Satu Paragraf: Waktu

Waktu. Andrea Hirata mengatakan bahwa waktu adalah hakekat. Waktu memang sesuatu yang rata dan seragam, namun bila dikonsumsi waktu mengubah diri menjadi sesuatu yang tidak menentu (teori Relativitas Khusus dari Dilatasi Waktu Albert Enstein). Karena pada rentang waktu yang sama, bisa terasa berat dan panjang, dan bisa juga sebaliknya, terasa ringan dan pendek. Kadang urutan kejadian waktu bisa terbalik, atau lebih parahnya lagi bisa lenyap sama sekali. Barangkali, karena perihal inilah manusia merekayasa eksistensi dirinya dengan manajemen waktu secara sewenang-wenang demi kepentingan pribadi, akibat imajinasi. Tapi, hakekat waktu tetaplah waktu, mengikat kita di tiap dimensi bila ruang tetap menyediakan gerak, perubahan. Inilah hukum dasar Fisika. Paten dan pakem. Bukankah begitu, YOURraisa? Yang masih “Terjebak Nostalgia”.

Satu Paragraf: Jangan Takut Pada Gelap

Malam itu akhirnya datang juga. Tanpa gerutu dan tanpa siasat. Seperti jala hitam yang mengepung kota. Seperti segalon tinta yang ditumpahkan seekor cumi raksasa ke seluruh permukaan Yogyakarta. Atau juga, seperti warna masa depan yang tak bisa kuraba. Dalam kamar gelap ini, aku tak mengenal matahari, bulan, atau arloji. Tapi kegelapan yang mengepung ruangan ini penuh dengan aroma bahan kimia dan rasa cemas. Hening. Begitu sunyi. Begitu sepi. Aku tak relevan lagi. Namun Sekelebat, di ujung kejauhan masa, aku teringat apa yang dikatakan Sang Penyair dalam novel Laut Bercerita. Katanya, jangan takut pada gelap. Gelap adalah bagian kehidupan. Tak ada bayangan tanpa cahaya dan tak ada cahaya tanpa bayang. Pada gelap ada terang meski hanya secercah, di ujung lorong. Kita, terusnya Sang Penyair, hanya jangan sampai tenggelam pada titik kelam, karena kelam adalah tanda kita sudah menyerah. Kelam adalah lambang kepahitan. Satu titik di mana kita merasa hidup tak bisa dipertahankan lagi. Terde...

Salah Apa Jadi Mahasiwa Tua?

Entah harus darimana pula tulisan ini kumulai. Bukan karena saya tidak punya dasar yang kuat untuk memulainya, tapi ya gitu.. saat tulisan ini ditulis dan bahkan sampai dipublis, pasti celutakan tak senonoh seperti orang yang tak pernah ngaji kitab Kuning Ta’lim Muta’alim itu akan nyelutuk heboh dan tak mau kalah dari celetukan burung beo: “Itu hanya tulisan pembelaan aja. Kalau tua, ya tua. Apa enggak pengen cepet lulus apa? Menuh-menuhin kursi kelas aja.” Celutukan seperti itu mah tidak apa meski sedikit panas-dingin didengar. Toh, ada pula celetukan yang lebih parah dan tidak terukur lagi takaran naudzubillah min dzalik nya. Setidaknya itu yang pernah saya dengar di curhatan grup sesama kawan seperjuangan mahasiswa tua. Katanya, “Mbok yo Abang cepet wisuda. Enggak hanya otak yang butuh nutrisi, Bang. ‘Bawahnya’ itu juga butuh.” Nyesek enggak? Jangankan Abang yang mahasiwa tua ini, Abang yang hanya beda satu tingkat di atas kalian pun nyesek dengernya juga bakal bingung mau ja...