Salah Apa Jadi Mahasiwa Tua?

Entah harus darimana pula tulisan ini kumulai. Bukan karena saya tidak punya dasar yang kuat untuk memulainya, tapi ya gitu.. saat tulisan ini ditulis dan bahkan sampai dipublis, pasti celutakan tak senonoh seperti orang yang tak pernah ngaji kitab Kuning Ta’lim Muta’alim itu akan nyelutuk heboh dan tak mau kalah dari celetukan burung beo: “Itu hanya tulisan pembelaan aja. Kalau tua, ya tua. Apa enggak pengen cepet lulus apa? Menuh-menuhin kursi kelas aja.”

Celutukan seperti itu mah tidak apa meski sedikit panas-dingin didengar. Toh, ada pula celetukan yang lebih parah dan tidak terukur lagi takaran naudzubillah min dzalik nya. Setidaknya itu yang pernah saya dengar di curhatan grup sesama kawan seperjuangan mahasiswa tua. Katanya, “Mbok yo Abang cepet wisuda. Enggak hanya otak yang butuh nutrisi, Bang. ‘Bawahnya’ itu juga butuh.”

Nyesek enggak? Jangankan Abang yang mahasiwa tua ini, Abang yang hanya beda satu tingkat di atas kalian pun nyesek dengernya juga bakal bingung mau jawab apa. Emang salah apa sih kalau kami jadi mahasiswa tua? Apa karena nabi Muhammad menikah dengan Siti Khatijah umurnya 25 tahun, dan kami yang sudah berumur sekitar itu atau lebih harus segera wisuda biar bisa cepet nikah agar hidup kami enggak dibilang bid’ah?

Seriusan Kawan, enggak gampang jadi mahasiswa tua itu. Serba Salah kalau kata Raisa. Seolah, kami menstreotipekan hama yang tak boleh didekati dan diikuti. Atau tak ubahnya seperti selilit yang nempel di sela-sela gigi yang harus segera dibuang. Jika tidak, akan membuat gigi tersebut berlubung. Ataunya lagi, kami itu seperti sampah yang berserakan di tumpukan tong-tong sampah. Kalau sudah tidak dapat dibuang, harus segera cepat dibakaragar yang lain tidak terkontaminasi.

Pernah satu kejadian yang menimpa kawan sejawad kami karena menjadi mahasiwa tua, walaupun alhamdulillah nya saat itu saya belum masuk dalam kategori itu. Si Kawan itu datang bertamu ke kontrakan pada tengah malam hari. Tanpa adanya pendahuluan dalam kerangka tutur bahasanya atau sistematika tutur katanya, ia langsung melontarkan rumusan masalah yang tak kalah penting harus dijawab oleh penulis skripsi yang mendaku ideal: “Apakah mahasiswa tua itu masuk dalam kategori variabel terikat ataukah varibel bebas untuk mejadi pemimpin rumah tangga yang ideal, boi?”

Jawaban saya tentu saja tidak tahu. Paling tidak karena saya memang tidak pernah menemukan dan membaca karya ilmiah yang meneliti perihal tersebut. Bahkan sekelas Profesor pun sepertinya tidak mau sampai hati menilik perihal rumusan masalah yang sangat sensitif dari Kawan Sejawad ini untuk dijadikannya sebagai topik penelitan karya ilmiah.

“Kenapa emangnya, boi?” tanyaku penasaran.

“Kau tahu, saya baru saja diputus karena saya adalah mahasiswa tua. Entah alasan itu dijadikan premis mayor atau minor untuk mensilogismekan bahwa mahasiswa tua itu katanya tidak akan bisa menjadi imam atau pemimpin rumah tangga yang baik. ‘Ngurusi urusan kampus saja enggak becus. Apalagi mau ngurusi rumah tangga’. Gitu, boi.”

Tentu saja saya ikutan nyesek mendengar jawaban si Kawan Sejawad, walaupun dengan rendah hatinya saya akan tetap bilang bahwa waktu itu saya belum masuk dalam kategori tersebut. Tapi bukan alasan begitu nyesek dan penuh stigma tanpa kerangka landasan teori yang enggak jelas sumber darimana resfrensinya itu, kemudian mengaramkanku berkomitmen untuk ikutan menjadi mahasiswa tua. Tidak. Itu bukan alasan yang prinsipil dan ideologis. Itu bukan jalan ninja yang kupilih.

Tapi Adek-Adek sekalian yang budiman. Kalian harus bisa berfikir jernih dalam menelaah dan menilai kenapa Abang-Abang itu memilih atau kenapa kuliahnya bisa lama. Sama seperti Moh. Hatta, wakil presiden pertama itu memilih untuk tidak menikah atau memiliki tambatan hati sebelum melihat Indonesia merdeka karena takaran cintanya terhadap anti-kolonialisme di Hindia Belanda melebihi kecintaannya terhadap perempuan, dan kita tidak dapat melekatkan label jomblo ngenes atas pilihan hidupnya, maka ada pula dari segelintirin Abang-Abang yang jadi mahasiswa tua itu memilih jalan yang esensinya sama seperti Hatta.

Tidak hanya itu, Adek-Adek. Masih banyak tipikal kenapa Abang-Abang itu memilih atau terpaksa mendapatkan label mahasiswa tua. Seperti karena terhambatnya mereka dengan urusan administrasi kampus, mendapat dosen pembimbing yang susah pakek bingit ditemui, dan ada pula tipikal mahasiswa tua lebih asik menggeluti keilmuan lebih universal daripada sekedar teori-teori terapan yang dipersembahkan kampus dan lain sebagainya. Sebab itu kalian tidak bisa mengambil keputusan, kalau kata Hayati kepada Zaenuddin, maha kejam lewat deretan premis-premis logika yang belum tentu absah dilekatkan pada tiap tipikial Abang-abang mahasiswa tua itu.

Atau paling tidak, jikalau kalian tak bisa mempremis-mayor-minorkan realitas sosial kehidupan mahasiswa secara utuh pada tiap tipikal mahasiswa tua kemudian mengacaukan konklusinya dan menyebabkan penilaian yang tidak hanya menyimpang tapi sekaligus mengundang fitnah, cukuplah kalian baca buku ‘Rekayasa Sosial’nya Jalaluddin Rakhmat dengan anteng di warung kopi. Setidaknya dari bacaan itu kalian tidak terjebak dalam Fallacy of Dramatic Instance; lewat kecenderungan melakukan over generalisation kepada mahasiswa tua dengan menggunakan satu-dua kasus untuk mendukung argumen atatu kesimpulan yang bersifat umum. Seperti kasus si Kawan Sejawad.

Ya, seperti kasus si Kawan Sejawad. Bukan karena alasan diputus akibat mahasiswa tua itulah yang membuat malam itu jadi malam yang haru-biru. Juga bukan dikarenakan sepetak tanah yang telah ia siapkan lama-lama hari untuk menikahi mantan tambatan hatinya itu pula yang menjadikam malam itu tak ubahnya sinema film FTV atau Indosiar penuh drama. Bukan.

Tapi, tentang bagaimana perjuangan si Kawan Sejawad untuk memperjuangkan kuliahnya ditengah ia tidak mempunyai biaya, tepatnya tidak ada yang membiayai kualiahnya, dan harus pontang-panting kerja paruh waktu untuk mendapatkan biaya. Dan harus sampai hati pula cuti beberapa semester dipertengahan jalan. Eh, dilalah, tambatan hati yang mulanya jadi pelipur lara kala ia mengarungi jalan setapak penuh krikil dan batu-batu cadas penuh hambatan menuju masa depan itu, malah mengambil sikap yang tak kalah maha kejamnya daripada sikap Zainuddin.

Adakah kesalahan pada Kawan Sejawad karena jadi mahasiswa tua ini? Hingga kalian tetap akan berceloteh kalau mahasiswa tua itu ‘menuh menuhin kursi kelas’ dan harus segera cepat minggat. Benar-benar salahkah jalan yang diambil Kawan Sejawat itu? Pontang-panting kesana-kemari agar kuliahnya tetap berjalan meski telat. Atau lainnya secara umum, salah apa mereka jadi mahasiswa tua? Bukankah tiap orang atau mahasiswa (tua) punya jalannya masing-masing untuk mengarui sesuatu? Baik itu secara pilihan prinsipil dan ideologis dan atau bahkan karena nasib. Bukankah tiap kesimpulan harus berbanding lurus dengan latar belakang pada bab 1, kalau mau nulis karya ilmiah? Apakah latar belakang tiap mahasiswa tua itu sama secara umum, hingga dengan teganya kalian menyimpulkan seenak udelnya?

Toh, kalau memang mau songong-songongan kayak tipikal mahasiswa lain; “Yang bayar biaya kuliah toh bukan kalian juga. Yang punya urusan masa depan bukan juga kalian yang repot. Yang punya masalah dengan urusan akademik juga bukan kalian yang pusing. Ngapain sih ngurusi kuliah orang lain?”. Jadi, letak kesalahan mahasiswa tua itu ada dimana? Tolong beritahu kami jangan cuma nyeletuk dan menghina saja.

Bukankah hanya satu kesalahan pada mereka/kami. Iya, hanya satu saja: Kuliah ditahun yang lebih dulu daripada kalian –jadi sama saja.

 

Note: Tulisan ini ditulis ditengah sela-sela kesibukan menulis skripsi yang maha telat minta ampun. Jadi tulisan ini sama saja dibaca kalian, Mahasiswa Tua. Tidak ada pembelaan. Cepet garap skripsi kalian!! Tapi, bagaimapun kalian bukan hama atau selilit atau sampah yang harus segera dibuang atau dibakar. Kalian hanya beda atau terlambat memahami konsep tatanan waktu. Tapi, itu tak apa. Setidaknya lebih baik terlambat wisuda daripada terlambat menyadari kalau kalian adalah pilihan kedua saat dia bosan, seperti nasib si Kawan Sejawad hahahahaha

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

HMI, Alasan Mengapa Aku Menjadi Bagian darinya

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Satu Paragraf: Wanita dalam Dekapan Imajinasi

Pulang, Karya Leila S. CHudori