Posts

Showing posts from 2021

Temanku L

Temanku L. Dalam kamar dia menghadap cermin dan memandang diri sendiri. Memperhatikan dan memastikan bahwa dia masih sama. Seperti pada usia ke 23 tahun ketika membuat keputusan besar: berkomitmen tidak menikah. Bertahun-tahun kemudian, pada usia menjajaki angka 30 tahun, saat kami dipertemukan dalam satu janji, tepat setelah beranjak dari hadapan cermin, senyum sumringah begitu tegas tersimpul. Rona merah terpancar. L bahagia. Alih-alih bertanya aku memilih diam, termenung, meresapi dan coba memahami pilihan hidupnya itu. Sampai saat ini. Sebab aku tahu pilihan itu berbuntut problematis dan menuntut konsekuensi logis daripada psikologis semata. Kita mahfum betul itu. Tuduhan traumatis selalu dilekatkan kepadanya. Alih-alih memahami dan mencerna berbagai argumen yang dia dasarkan sebagai dalil tidak menikah. Kubilang ini problematis. Tricky. Alias pelik. Dalam sosio-kebudayaan kita menikah telah menjadi bagian fase hidup. Menikah setara dengan kelahiran dan kematian. Mau tidak mau

Satu Paragraf: Adolf Eichmann

Satu waktu aku pernah memilih sebuah buku tentang pengadilan Adolf Eichmann. Aku memiliki gambaran yang agak samar tentang dia sebagai penjahat perang Nazi, tapi tidak ada minat khusus terhadap orang ini. Kebetulan saja buku ini terlihat olehku saat ke perpustakaan. Aku mulai membaca dan belajar bagaimana letnan kolonel yang sangat praktis di SS ini, dengan kacamatanya yang berbingkai logam serta rambut yang menipis, tidak lama setelah perang dimulai, ditugaskan oleh markas besar Nazi merancang sebuah ”penyelesaian akhir” bagi bangsa Yahudi —yaitu pemusnahan— dan bagaimana dia meneliti cara-cara yang paling baik dalam melaksanakan pemusnahan itu. Kelihatannya hampir tidak pernah terlintas dalam benaknya mempertanyakan moralitas atas tindakannya. Yang dia pikirkan hanyalah bagaimana cara terbaik membinasakan bangsa Yahudi dalam waktu yang sangat singkat serta biaya serendah mungkin mengenai sebelas juta orang Yahudi yang menurut dia harus dimusnahkan di Eropa. Eichmann mempelajari berap

Satu Paragraf: The God Delution

The God Delution. Adalah sebuah keberanian menerbitkan buku penuh kontroversi ini dalam bahasa Indonesia. Meski buku ini bukan buku baru, terbit 2006, tp polemik yang ditimbulkan masih bergaung hingga saat ini. Buku ini bahkan dianggap sebagai kitab sucinya orang atheis. Dalam pengantarnya saja, Dawkins secara gamblang mengatakan dg penuh harap yang telah membaca bukunya ini dapat mengantarkan pembacanya pada satu pemahaman yang sama: menjadi ateis. Tentu saja kalimat penuh agitasi ini menyebabkan para pemuka agama di Amerika maupun Eropa yang mayoritas beragama Kristen marah dan membuat buku tersebut mendapat cercaan di mana-mana. Sisi lain, sebenarnya, keinginan membaca buku ini sudah terbesit berapa tahun silam, 2014, saat begitu asik mencerna The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World karya Paul Davies. Tapi, entah kenapa tenggelam begitu saja oleh kesibukan tak begitu produktif. Kemudian, beberapa waktu lalu, dalam satu perbincangan pada satu malam yang tidak begit

Satu Paragraf: Nyai Ontosoroh

Saya selalu tertarik dengan perempuan yg punya kesadaran bahwa ia, sebagaimana manusia seperti halnya laki-laki, juga memiliki dimensi privat yg tak boleh diredupkan, dipatahkan dan dihilangkan oleh kejumudan kolektifitas budaya kita. Seperti Nyai Ontosoroh. Meskipun karakter ini fiktif dlm karya Tetrologi Buru Pramoedya Ananta Toer, ia selalu menjadi prototipe saya dlm melihat bagaimana seorang perempuan harus berfikir dan bertindak. Salah satu perkataan Nyai Ontosoroh yg sangat terekam dlm kesadaran saya adalah: “Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai.” Kesadaran yg sangat bertenaga dilontarkan Nyai Onyotosoh ini membuat sya dulu, saat pertama kali membaca Tetrologi Buru, krn saya hidup dlm kebudayaan di mana laki-laki punya otoritas dan power tak bisa dibantah, membuat saya tidak bisa membayangkan bagaimana tekstur hidup seorang perempuan yg tak mau berkalang lelaki. Anggapku, perempuan seperti

Satu Paragraf: Selamat Jalan, Mbak

Sebelumnya, kematian bagiku adalah entitas berbeda dari kehidupan. Mereka mandiri dengan wujudnya masing-masing. Jika kehidupan ada di sebelah kanan, kematian ada di sebelah kiri. Mereka terpisah oleh benteng kokoh tak berwujud sebagai pembatas. Benteng itu begitu halus. Seperti gelembung udara yang mengisi tubuh kita tanpa kita sadari. Mungkin karena anggapan itu aku hampir tidak pernah menangis jika salah satu keluargaku meninggal dunia. Apa aku begitu kaku dan tak perasa? Entahlah. Seperti saat kakekku meninggal dunia. Alih-alih menangis dan ikut meramaikan kesedihan, aku malah melakukan hal praktis. Persis seperti mekanik pada sebuah mesin otamatis. Ikut menyiapkan kain dan air dan memandikannya. Juga menyiapkan keperluan apa saja untuk para nelayat. DLL. Itu juga terjadi saat nenekku meninggal dunia. Sepertinya pada sebuah tempat yang tersembunyi dalam otakku sudah diberi perintah “jangan menangis” dan “jangan bersedih”. Tentu aku pernah menangis. Tapi, itu bukan berkaitan kematia

Pengader, Al-Qur’an dan Via Vallen

Salah satu isu yang mencuat dalam majelis pengader beberapa waktu silam adalah perihal bacaan al-Qur’an para pengader. Kita tidak bisa menyembunyikan bahwa di balik tampilan kharismatik para pengader dengan segudang “bualan” teorinya di atas panggung pelatihan ternyata ada satu sisi yang tersoroti oleh para peserta. Bacaan al-Qur’an yang kerap dilantunkan setelah ritual shalat maghrib dan shubuh paling tidak mendapatkan perhatian tersendiri dari para peserta pelatihan. Memang tidak semua pengader mampu membaca al-Qur’an dengan lancar dan baik. Keberagaman ini masuk pula pada impuls-impuls tafsir mereka hingga melahirkan interpretasi yang berbagai macam rasanya. Bukan tidak pernah wacana ini mengemuka di atas gelas–gelas kopi benak para pengader saat bersua. Perbincangan menuju pada arah bertema bagaimana meningkatkan self quality para pengader dalam membaca al-Qur’an. Setiap kali masuk pada bahasan ini akan jatuh pada muara-muara apologi dan desas-desus yang kian kencang. Ada yang b

Satu Paragraf: Don Quixote de la Mancha

Buku bukan saja dapat mengubah dunia. Ia juga dapat membuat pembacanya menjadi gila. Itulah novel Don Quixote. Kisah lelaki paruh baya yang mengimajinasikan dirinya menjadi ksatria demi keinginan absurdnya menumpas kejahatan, karena terobsesi oleh kumpulan hikayat kepahlawanan yang dibaca. Bagaimana kekuatan sebuah buku mampu menghipnotis pembaca: Aku teringat kisah teman saat kami sedang liburan pada suatu sore menepi di pantai dan memandangi dunia yang terdiri dari waktu itu, tiba-tiba punya keinginan gila memotong senja dan mengeratnya menjadi empat sisi demi pacarnya, setelah membaca Sepotong Senja Untuk Pacarku. Atau kisah seorang anak muda yang merupakan novelis pemula pindah ke Paris setelah membaca A Moveable Feast . Ia begitu tergila-gila dengan Paris dan kehidupan kesusastraannya, sebagaimana yang dibayangkannya setelah membaca karya Hemingway itu. Tapi, Don Quixote melampaui dua kisah yang kucontohkan. Don Quixote adalah karakter yang memaksa realitas harus sama dengan imaji

Satu Paragraf: Absurditas Sartre, Nietzsche dan Camus

Saat kulari ke hutan dan berteriakku seperti tarsan, hutan dan penghuninya hanya asik dengan dirinya sendiri. Saat kulari kepantai dan berteriak “Aku mencintaimu”, hanya deru ombak sebagai jawaban. Manusia menciptakan dirinya sendiri, dunialah yang absurd, bukan kita; dan Jean-Paul Sartre berkata: “Aku tahu ini adalah dunia, Jul. Dunia telanjang ini tiba-tiba saja memunculkan dirinya sendiri. Aku menjadi gusar dengan kehidupan kotor dan absurd ini.” Melalui modus kesadaran ini, Sartre mencoba memberikan pandangan bahwa manusia memiliki makna dalam dirinya sebagai makhluk berpredikat bebas yang menyatu dengan pilihan. Kebebasan adalah pilihan. Manusia sejati adalah ketika pilihan kebebasannya dapat ditentukan tekanan dan intimidasi, dan Friedrich Nietzsche sepakat: “God is dead.” Dari Nietzsche, dimulailah babak baru kehidupan manusia di dunia ini. Sebut saja babak alienasi, yaitu saat manusia mengalami keterasingan dari luar dirinya saat menentukan pilihan. Setiap pilihan, kata Nietzsc

Puisi: Langit Jogja

  Di Kota Pahlawan, kau bersarang Sedangkan aku, di Kaliurang Berapa panjang jarak kita? Aku tak tahu Yang kutahu Kaulah yang paling dekat dengan do’aku   Puisi ini,  Boleh kau katakan sekedar celotehan intuisi Atau sekedar gerak kecil dari kepalaku yang mulai asik berimajinasi Tapi tanpamu, kau pun tahu Aku takkan mampu berpuisi   Maka, Lihatlah ke sini! Ke langitku! Langit Jogja yang sedang menggerutu “Tentangmu” ia terus saja berucap Tentang rindunya yang sudah lama pengap

Satu Paragraf: Setelah Nonton Drakor

Dua hari ini, karena tenggat paket data tersisa beberapa hari lagi dan sisa kouta masih banyak, aku meghabiskan waktu dengan nonton beberapa film. Baik itu Jepang, China dan Drakor. Sama seperti pengarang sastra lama yang punya kebiasaan menjadi malaikat maut bagi tokoh utamanya; seperti dalam novel Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang hingga Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk; aku juga menemukan hal yang sama pada film-film yang kutonton. Seperti ada sebuah kesan kesengajaan dari penulis skenario untuk mencabut nyawa tokoh utama mereka. Bisa diawali dengan penyakit kronis mematikan yang tidak bisa disembuhkan atau tiba-tiba langsung mati aja gitu. Aku tidak tahu pasti apa yang mendasari atau melatari unsur kesengajaan ini. Tapi, kalo aku diperbolehkan membuat sebuah kemungkinan, atau spekulusi, seperti kebiasaaan pengarang sastra lama yang punya hobi bener membunuh tokoh utama mereka dan mengkontekstualkan pada film-film yang kutonton, sepertinya mereka juga ingin membawa pesan “

Puisi: Tinggalkan di Plato Tibet

“Aku bintang apa binatang? Aku bulan apa bukan?”   Syair-syairku telah melupakanmu Bersama cacing-cacing itu yang mati kelaparan Bersama kuda-kuda itu yang mati kehausan Puisi-puisiku pun tak lagi menggilaimu   Sudah kubilang bukan Jika ingin meninggalkanku Tinggalkan saat kita berdua di Everest Kau memilih tidak sampai di Plato Tibet Atau, mati berdua saja

Puisi: Mutiaraku Pecah di Jogja

Bermula di Tuju Kubungkus harapku dengan do’a Pikirku akan nyata dibalik getirnya usaha Kesandung batu, rupanya berhasil pecahkan mutiara   Kemudian pindah ke Lereng Merapi Sejuk pilu makin menjadi Beralas harap setitik api Sekali berkobar, jiwa ini bak mati   Rimbun pepohonan di Kaliurang Bertahun-tahun aku menjadi bintang Berharap manusia tak mudah menafsirkan Rupanya, mutiaraku mereka pecahkan   Bertahun-tahun aku jaga Agar mutiaraku tak satupun pecah Sekali-dua mereka berulah Ampun, mutiaraku pecah belah   Jakal KM 13.5 menjadi saksi hilangnya mutiaraku Berapa lama lagi akan bertahan? Entah Atau menyerah saja pada keadaan? Mungkin tiada lagi setelah itu mereka pecahkan    

Puisi: Kukenang Kau Sembari Pergi

Ada yang lain ikut berguman tadi pagi Katanya, jangan bangun lama-lama Hari ini hujan bakal deras Tapi, aku bangun juga   Ada yang lain berbisik tadi siang Katanya, jangan main dengan banyak teman Hari ini panas, tak jadi hujan Tapi, aku main juga   Hari ini, Ada yang lain meski hujan dan panas silih berganti Aku bangun atau tidur kembali Disela terjaga pada tiap hembusan nafas dan denyut nadi Namamu, masih saja menyelinap di dinding hati   Sekali lagi, Kukenang kau sembari pergi

Nikita Mirzani, Perempuan Gila yang Kita Butuhkan!

Berbeda dengan Dian Sastro yang dianggap prototipe perempuan ideal oleh Puthut EA, punya karir bagus, selalu tampil menawan dan dapat suami tajir pula; dalam pandangan bualku, Nikita Mirzani tampil beda untuk mensimbolkan diri sebagai perempuan. Pada segi fisik, bagi para pengkhayal Nikita memang tidak bisa disandingkan dengan keaduhaian subhanallah -nya Chelsea Islan dalam mengarungi kehidupan tak berperi ini. Atau dengan Anya Geraldine, the best of woman -nya para jomblo; sejak mereka muntap, merintih dan murtad dari jomblo syari’ahnya saat ditinggal nikah Isyana Sarasvati. Tapi percayalah, meski bagi banyak kalangan Nikita diasosiakan dalam bentuk negatif serta selalu dijadikan objektifikasi bahan keliaran fantasi jari-jemari di kamar mandi, sebenarnya, tanpa mengurai hormatku bahwa dia emang sexy dan ciamik, melampaui prasangka tersebut. Lewat gaya bicara ceplos-ceplos, penuh satire, dan tentu saja bakal terasa pedas dan terasa panas seperti ‘Sambalado’ nya Ayu Ting Ting, ser

Bidadari itu Ada di Dunia, dan Aku Ingin Bucin dengannya II

Seminggu telah usai sejak mimpi itu berlalu. Tapi rasa penarasan masih saja mengusik mengapa dia tanpa sopan santun masuk dalam mimpiku. Betapa dia sangat ceroboh dan tak beradab, keluhku. Masuk tanpa permisi pada mimpi seseorang yang telah lama kering dalam persoalan cinta. Dalam lamunan juga kupersoalkan. Apa dia pikir hati lelaki sekuat bata karang seperti dalam sebuah puisi dan tetap kokoh terhadap hembusan ombak? Apa dia juga tak pernah berpikir bahwa sekuat dan sehebat apapun lelaki tetap akan rapuh dan baper oleh lemparan senyuman itu? Seperti kemarin, saat aku mengantar keponakanku sekolah. Betapa dia begitu tega saat kami bertemu tanpa sengaja di simpang jalan yang memisahkan pasar dan sekolah Taman Kanak-Kanak, menyapaku “kak” dan melemparkan senyuman terindah itu, tepat saat angin jahil dari hempasan mobil melaju menderaikan rambut hitamnya seperti dalam film-film romance. Aku sudah tidak tahan, keluhku. Cinta yang muncul dan bermuara dari mimpi telah berhasil memporak