Satu Paragraf: Selamat Jalan, Mbak

Sebelumnya, kematian bagiku adalah entitas berbeda dari kehidupan. Mereka mandiri dengan wujudnya masing-masing. Jika kehidupan ada di sebelah kanan, kematian ada di sebelah kiri. Mereka terpisah oleh benteng kokoh tak berwujud sebagai pembatas. Benteng itu begitu halus. Seperti gelembung udara yang mengisi tubuh kita tanpa kita sadari. Mungkin karena anggapan itu aku hampir tidak pernah menangis jika salah satu keluargaku meninggal dunia. Apa aku begitu kaku dan tak perasa? Entahlah. Seperti saat kakekku meninggal dunia. Alih-alih menangis dan ikut meramaikan kesedihan, aku malah melakukan hal praktis. Persis seperti mekanik pada sebuah mesin otamatis. Ikut menyiapkan kain dan air dan memandikannya. Juga menyiapkan keperluan apa saja untuk para nelayat. DLL. Itu juga terjadi saat nenekku meninggal dunia. Sepertinya pada sebuah tempat yang tersembunyi dalam otakku sudah diberi perintah “jangan menangis” dan “jangan bersedih”. Tentu aku pernah menangis. Tapi, itu bukan berkaitan kematian. Kemarin lalu, awalnya, juga demikian. Ketika dalam perjalanan di Suramadu dan telpon dari Rumah Sakit mengabarkan saudaraku meninggal dunia dan teriakan tangis mengisi ruangan mobil, sesaat aku terdiam dan menarik nafas dalam dan panjang. Tanpa tangis. Kemudian menenangkan dua saudaraku yang lain untuk tetap tegar dan tabah. Sesampainya di Rumah Sakit kuminta kedua saudaraku, suami (almarhumah) dan anak sulungnya tetap di lantai bawah. “Biar aku saja yang mengurus segala tetek bengek administrasi Rumah Sakit,” terangku. Kupencet lift ke lantai 5 dan menuju ruang administrasi. Kuberitahu bahwa aku adalah adiknya ketika salah satu staff bertanya. Sepertinya mereka tak percaya karena melihat air mukaku yang tenang dan tidak mengisyaratkan sebercak kesedihan. Saking tak percayanya mereka sampai lupa mengucapkan bela sungkawa, sepertinya. Aku mengikuti intruksi adminstrasi Rumah Sakit. Membayar biaya selama dirawat, menyelesaikan surat-surat kematian dan menyewa ambulan. Naik-turun. Kembali ke lantai 5 dan mengonfirmasi bahwa semuanya sudah selesai. Menghilangkan lelah dan penat, aku pergi ke halaman luar Rumah Sakit: merokok. Sejenak lalu, aku memalingkan wajah dan melihat keluargaku yang jaraknya sudah mengelabuhi kedua mata minusku. Aku masih bisa mengontrol. Namun, bersamaan dengan hembusan asap rokok yang berkelindang, sejumput kenangan (saya bersama almarmuhah) menjemput dan memantik kenangan kami yang lain dengan sendirinya. Semacam rumput liar yang tak pernah diinginkan. Tangisku pun pecah: bersamaan dengan ingatan bagaimana mbakku mengajariku membaca dan memahami pola pembagian dan perkalian matematika saat masih SD. Kenangan saat kami tertawa. Juga saat kami pernah bertengkar hal sepele. Serta ingatan bagaimana dia menasehati untuk melanjutkan pendidikan, masih terasa seperti kemarin kudengar. DLL. Kenangan tsb. berhasil memporak-porandakan perasaanku, tidak lagi mengetuk. Kini, simpulku, tak seperti sebelumnya, kematian bagiku bukan lawan dan terpisah dari kehidupan. Kehidupan adalah kematian itu sendiri, dalam setiap kejut, kabar buruk, kenangan, makna kata pergi dan ketiadaan. Selamat jalan Mbak. Kembalilah dalam ketidaanmu dengan tenang. Sejatinya kita memang hanya menunggu sebuah ketiadaan (cepat atau lambat). Hanya untuk kembali belajar agar tetap terlihat baik-baik saja. Bahwa yang seharusnya kami lakukan adalah menerima dengan sungguh-sungguh. Sejenis belajar ikhlas, karena memang sudah waktunya kau kembali ke siklus sebelumnya: dari tiada, ada dan menjadi tiada. Mbak, kau memang tiada, tapi kau akan abadi dalam kenangan kami. Doaku, surga adalah tempatmu.

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

HMI, Alasan Mengapa Aku Menjadi Bagian darinya

Ada Cerita di Balik Hujan

Satu Paragraf: The Star Maker