Bidadari itu Ada di Dunia, dan Aku Ingin Bucin dengannya II
Seminggu telah usai sejak mimpi itu berlalu. Tapi rasa penarasan masih saja mengusik mengapa dia tanpa sopan santun masuk dalam mimpiku. Betapa dia sangat ceroboh dan tak beradab, keluhku. Masuk tanpa permisi pada mimpi seseorang yang telah lama kering dalam persoalan cinta. Dalam lamunan juga kupersoalkan. Apa dia pikir hati lelaki sekuat bata karang seperti dalam sebuah puisi dan tetap kokoh terhadap hembusan ombak? Apa dia juga tak pernah berpikir bahwa sekuat dan sehebat apapun lelaki tetap akan rapuh dan baper oleh lemparan senyuman itu? Seperti kemarin, saat aku mengantar keponakanku sekolah. Betapa dia begitu tega saat kami bertemu tanpa sengaja di simpang jalan yang memisahkan pasar dan sekolah Taman Kanak-Kanak, menyapaku “kak” dan melemparkan senyuman terindah itu, tepat saat angin jahil dari hempasan mobil melaju menderaikan rambut hitamnya seperti dalam film-film romance. Aku sudah tidak tahan, keluhku. Cinta yang muncul dan bermuara dari mimpi telah berhasil memporak...