Hanya Orang Bodoh, Berhak Jatuh Cinta


Berpuluh-puluh tahun kemudian, saat menunggu datangnya perempuan yang dicintai itu dalam purnama sebagaimana janjinya, Margio jadi teringat kencan pertamanya di suatu malam: berdua mereka menyusuri alun-alun kota dan menonton film. Itu dulu sekali, saat ia kembali menyatakan cintanya kepada perempuan itu untuk kesekian kalinya tanpa lelah dan jengah.

“Jadilah kekasihku. Aku tak bisa hidup tanpamu.”
Dengan penuh kepastian, perempuan itu menjawab. “Omong kosong!! Bahkan kau masih bisa hidup meskipun dipatok ular.”
“Bukti apa lagi yang harus kuberikan?” tanya Margio.
“Tunggulah aku di situ, di pohon itu, dalam purnama. Bukankah menunggu adalah bukti cinta? Itupun jika cinta memang ada.”
“Apapun yang terjadi, aku akan tetap mencintaimu,” kata Margio dengan penuh keyakinan, dan berjanji. “Percayalah, aku akan menunggu.”
--------------------------------------------------

Margio menamai perempuan itu dengan sebutan Si Cantik. Bertemu saat ia masih berumur belasan tahun dan di saat dada Si Cantik belum tumbuh dan memprovokasi laki-laki, tapi tetap berhasil membuat Margio berdiri kaku oleh gambarannya yang cantik dan mungil dan bermata jeli, di bawah hujan dan lolongan anjing birahi minta kawin. Bukan hanya tak pernah melihat tapi juga tak pernah, diusia yang masih seumur jagung, Margio membayangkan kecantikan yang secara alami terpancar hingga membuat dirinya menggigil. Sejak itulah dengan penuh keyakinan, Margio percaya bahwa Tuhan pernah melakukan hal ceroboh karena lupa memberikan kekurangan kepada makhluk-Nya yang bernama Si Cantik.

Kepada kawannya, Margio berkata bahwa ia telah menemukan Sang Juliet dan siap mati meminum racun asal bisa menjadi kekasih abadi Si Cantik. Atau, siap menjadi seperti Raja Alengka yang mendeklarasikan perang kepada Raja Ayodhya untuk mempertaruhkan siapa yang berhak memiliki Dewi Shinta, demi Si Cantik. Sebab cinta telah datang dalam bentuknya yang ajaib. Itulah yang terjadi pada Margio. Tak seperti biasa, tiba-tiba Margio rajin mandi, suka keramas, pakai parfum, dan tak lupa memakai pembersih wajah agar selalu tampak cerah. Dengan ajaib pula, Margio menjadi laki-laki sok puitis. Puisi-puisi cinta dalam novel ramon murahan pun ia kutip dan dikirimnya kepada Si Cantik. Tiap hari. Tak kenal waktu. “Puisi itu adalah bukti cinta,” kata Margio satu waktu saat Si Cantik mulai jengah dan tidak bisa lagi menahan emosi dengan datangnya puisi-puisi sok puitis meminta dibelas-kasihani.

“Taik,” jawab Si Cantik, dengan nada sinis.
“Bila perlu, aku akan memetik sepotong bulan untukmu.”
“Jangan bodoh. Astronot pun butuh pesawat untuk terbang.”
“Tak ada mustahil dalam cinta. Jika kau paksa, aku akan coba menguras samudera Hindia dalam semalam.”

Bagaimanapun adalah benar Margio coba untuk melakukannya, mengurasnya. Si Cantik adalah cinta pertama Margio. Semua orang tahu kalau cinta dapat membuat seseorang berani melakukan apa saja dengan kebodohannya, karena jika tidak, pelan tapi pasti, hidupnya bakal habis digerogoti penyesalan dan rasa sakit. Tapi bukan samudera Hindia yang Margio kuras, melainkan sungai Ci Jaro di desa kampung sebelah. Dan menenteng bak warna hitam, dengan wajah sumriah dan senyum lebar, ia berangkat ke sungai Ci Jaro dengan tumpukan harapan dalam imajinasinya. Ibunya, yang melihat lagi gelagat aneh anak sulungnya makin hari makin parah, dibuat cemas.

“Kau mau ngapain lagi?” tanya ibunya yang mulai cemas.
“Seperti yang dilakukan Sangkuriang kepada Dayang Sumbi.”
“Bodoh. Dayang Sumbi meminta Sangkuriang membendung sungai, bukan menguras.”

Si Ibu tahu sang anak sedang jatuh cinta. “Itu tindakan bodoh,” katanya satu saat dengan tambahan nasehat kepada Margio agar berhati-hati dengan cinta karena bisa membuat seseorang menderita, sebab cinta lebih ganas dari pada malaria. Tapi nyatanya sang anak telah memutuskan jatuh cinta. Lebih bodoh lagi ia jatuh cinta kepada Si Cantik. Perempuan yang selalu didesuskan lebih cantik daripada Rengganis Sang Putri yang membuat laki-laki siap mati untuknya dan perang pernah meletus hanya karena orang-orang mem-perebutkannya. “Anak bodoh,” desis ibu Margio, sembari melihat banyangan sang anak dari kejauhan yang berangkat mengurus sungai Ci Jaro itu dan tenggelam dalam keremangan senja.

Tepat dalam keremangan senja itulah, belum ada berapa menit saat Margio menguras sungai Ci Jaro, di mana seekor ular sungai berbisa kemudian mengendap-ngendap dari bawah genangan air dan memotok punggungnya, dan membuat laki-laki tua di pinggir sungai sedang masyuk berburu biawak sebagai menu makan siang, langsung melompot ke muara karena mendengar teriakan minta tolong. Satu kampung heboh dengan kejadiaan tersebut. Sebagian orang menggunjing kalau cinta telah membuat Margio jadi bodoh, dan sebagian lain menggunjing hanya orang bodoh seperti Margio lah berhak jatuh cinta. Tapi apapun gunjingannya, semua orang tahu meskipun patokan ular sungai tak bisa menghentikan kebodohan cinta Margio, paling tidak telah membuatnya berdiam diri dan meraung kesakitan minta ampun setiap malam di kamarnya.

Ketika mendengar kabar tersebut, Si Cantik tahu betul kalau tindakan bodoh Margio itu adalah satu upaya membuktian cinta padanya. Tapi ia tak pernah mengakui. Bahkan jika dipatok dan atau dimakan anaconda sekalipun. Meskipun begitu, berselang berapa hari dari kejadian itu, Si Cantik datang menjenguk. Tubuh Margio yang mulai membiru dan juga telah mengering karena ulah ular jahanam itu, tak sedikitpun menggugah rasa iba Si Cantik. Sementara Margio tak bisa tidak memasang rona wajah penuh bahagia karena dijenguk Julietnya meskipun rasa sakit tanpa ampun menyerang bertubi-tubi, dan saat Si Cantik basa-basi bertanya keadaannya dan kenapa tidak memilih mati dipatok ular saja, dengan tegas dan penuh semangat, tapi tetap dengan kebodohannya, Margio berkata:

“Cantik, sepertinya aku memetik sepotong bulan saja untukmu.”
“Ternyata racunnya sudah menggerogoti otakmu,” jawab Si Cantik.
--------------------------------------------------

Walaupun tidak pernah mengakui, Si Cantik tak bisa mengelak dengan cinta yang ingin dibuktikan Margio. Laki-laki yang sejak sekolah dasar terus-menerus mengejarnya. Tapi ia sangat tahu bahwa Margio sulit mendapatkan harapannya itu. Ia sudah dipinang oleh kepala desa sebagai istri ketiganya tak kala Si Kepala Desa dengan sepintas-lalu melihat potensi kecantikan Si Cantik yang makin hari makin mengundang syahwat semua laki-laki bersedia mati bertarung untuk memilikinya.

Di lain waktu, setiap berada di depan cermin kamar, Si Cantik sering melamun tentang tingkah laku konyol Margio. Kadang salah tingkah, dan lebih sering memperlihatkan bodohnya. “Apa yang sebenarnya diharapkan Margio, benarkah adalah cinta?” tanyanya Si Cantik setiap melamun di hadapan cermin. Tapi penampilannya yang kian hari kian memprovokatif lawan jenis dan kian waktu makin menumbuhkan dadanya yang mulai menyembul dan menatang, telah memberi-kan hipotesa bahwa bukan cintalah yang membuat Margio dan atau sederet laki-laki lain bersaing untuk memilikinya.

Si Cantik tahu betul tentang kecantikan-nya. Tapi hanya sebatas itu saja. Hingga sampai suatu saat ia akhirnya menyadari bahwa menjadi perempuan dengan daya tarik sangat memikat bisa menjadi bencana. Karena satu waktu, dalam acara keluarga besar dari pihak ibunya, ia pernah membuat kacau hati semua orang yang melihat. Bahkan tak bisa dibuat tidur hingga lebih dari satu minggu. Dan siapapun, ketika berada di dekatnya, akan segera tahu bahwa Si Cantik selalu menebarkan orama menyiksa, yang bakal tetap tercium sampai beberapa jam setelah ia berlalu.

Para laki-laki yang ahli dalam gangguan cinta sekalipun pasti bakal menyatakan bahwa belum pernah merasakan siksaan rangsangan daya tarik seperti keharuman yang secara alami terpancar dari tubuh Si Cantik. Tapi sebaliknya, kecantikan juga bakal menyiksa diri sendiri. Seperti yang dialami Alamanda dalam karya Eka Kurniawan, yang karena dengan kecantikannya itu, membuat Shodancho Sadrah dengan segala cara memakai strategi gerilya-nya untuk mengalahkan cinta demi mendapatkan Alamanda –hingga sampai memperkosa. Kesadaran itulah yang kemudian, seperti ilham tiba-tiba turun dari langit, dengan suara parau, begitu pelan tapi pasti, dan bakal mengiris hati siapa saja yang mendengar, Si Cantik berkata kepada kawannya, Adinda.

“Cantik itu luka,” kata Si Cantik pelan tapi pasti, dengan suara parau.
“Bodoh. Setiap perempuan ingin cantik,” timpal Si Kawan tak terima.
“Makin banyak perempuan cantik, makin banyak istri Si Kepala Desa.”
“Kau akan jadi perempuan terpandang. Jadi orang kaya.”
“Ya, aku jadi kaya, dan itu tak ada beda dengan pelacur yang menjajakan kema-luannya demi uang,” jawab Si Cantik dan mengingat bagaimana ketidak-mampuan orang tuanya membayar hutang kepada Si Kepala Desa.
“Kaburlah, Cantik. Sebelum kau jadi pelacur.”

Tapi apapun yang terjadi pernikahan itu tak bisa terelakkan, dan kelak Si Cantik bakal melahirkan sepuluh anak dari sepuluh tahun pernikahannya. Seperti tak diberikan sedikit jeda istirahat untuk tidak bunting. Tapi dua hari sebelum pernikahan tiba, di bulan Maret, di penghujung waktu sebelum hujan turun melanda desa dan di saat anjing tak lagi melolong minta kawin, Margio datang setelah sembuh dan atau bangkit dari kematiannya dengan membawa seikat bunga dengan tambahan kalimat bual.

“Cantik, jadilah kekasihku. Aku tak bisa hidup tanpamu.”
“Apa kau tak punya kalimat lain?” tanya Si Cantik. “Berhentilah. Bahkan anjing pun tahu kapan saatnya berhenti melolong. Paling tidak, ajaklah aku kencan.”
--------------------------------------------------

Kencan itu datang di malam minggu keesokan harinya. Sehari sebelum pernikahan Si Cantik digelar. Betapa senang hati Margio mendapatkan ajakan kecan itu. Tapi sebaliknya, betapa bodohnya saat ia tahu kalau Si Cantik bakal menikah keesokan harinya. Ibunya sengaja tidak memberitahu. “Kasihan, dia bakal jatuh sakit lagi. Bukan akibat patokan ular, tapi patah hati,” kata ibunya saat Mardio, adik Margio, hendak memberitahu kalau Si Cantik akan menikah.

Memakai minyak Tancho dan membuat rambutnya kaku menjulang dengan tambahan parfum cap Minyak Jinggo, Margio kemudian bergegas ke rumah Si Cantik. Mereka kencan di sebuah alun-alun kota. Lima belas KM dari gunung Merapi yang kelak jadi tempat Margio bertahun-tahun menunggu Si Cantik dalam purnama. Mereka juga menonton film My Sassy Girl. Sebuah film yang kalau diingat-ingatnya kembali, dalam penantian menunggu Si Cantik, Margio seperti menonton kisah hidupnya sendiri.

Cinta memang aneh bin ajib. Kesetiaan konyolnya telah membuat Margio menunggu pada sesuatu yang mungkin saja tak akan datang. Tapi yang jelas, cinta telah membuat Margio jadi buta, atau bodoh. Bahkan selama hidupnya, tak seorang perempuan yang dicintai Margio selain Si Cantik. Semua itu hanya karena cinta buta, atau bodohnya, pada Si Cantik yang tampaknya tak pernah dilahirkan menjadi milliknya, dan membuat hidupnya pelan namun pasti di-gerogoti waktu dan kesia-siaan; mulai dari bagaimana ia pernah memutuskan tak naik kelas agar sekelas dengan Si Cantik; belajar mati-matian agar masuk satu kelompok Si Cantik mewakili sekolahan mengikuti lomba Matematika se-kabupaten di Kota; dan hingga terseok-seok tak mengerti polah keinginan Si Cantik yang makin lama makin membingungkan Margio dengan kesian-siaan. Tapi percayalah, Margio benar-benar mencintai Si Cantik, dengan bodohnya.

Kebodohan cinta Margio bukan tanpa alasan. Terselip dengan keyakinan palsu, Margio adalah satu dari banyak laki-laki yang percaya bahwa kekerasan kepala pada akhirnya bakal membuat hati perempuan mana pun akan takluk. Termasuk Si Cantik. Tapi keyainan itu, walaupun dipungkiri dengan berbagai cara, tetap hanyalah selipan keyakinan palsu. Hingga suatu sore yang merah, di saat langit disapu bersih oleh warna senja, dan di saat ia ingin tahu mengapa ditolak untuk kesekian kalinya, dengan terpaksa Margio bertanya, dan kelak pertanyaan itu bakal disesali karena ia pun tak bisa menjawabnya.

“Cantik, kenapa kau tak pernah bisa mencintaiku?” tanya Margio.
“Katakan dulu, mengapa kau mencintaiku?” jawab Si Cantik membalik-kan pertanyaan tanpa pikir panjang.

Bagaimapun hingga bertahun-tahun kemudian, Margio tak pernah bisa menjawab pertanyaan itu. Cintanya telah buta, dan kebodohannya tak bisa menerangkan alasan jawaban apapun. Mungkin karena tubuh Si Cantik yang makin hari tambah montok dan makin menantang jari-jemari Margio supaya terus menari beradu dengan nafsunya saat di kamar mandi itulah yang mem-buatnya cinta. Tapi meskipun begitu, bahkan jika Si Cantik tak lagi montok, ia tetap mencintainya, sebagaimana ketika bertahun-tahun kemudian, Si Cantik datang padanya dengan wujud nenek tua yang mulai mengempiskan kebula-tan dadanya dengan mempertanyakan kesungguhan cinta.

Walaupun tak punya alasan, Margio tetap mencintai Si Cantik. Hal itu tak bisa dibantah. Cintanya telah menggumpal dan tak lagi bisa dilumerkan. Tak bisa dibendung. Bahkan jika setan paling jahanam dari neraka sekalipun yang menghalanginya. Hingga suatu saat, ketika Margio bangkit dari kematiannya dipatok ular, hatinya bergerumuh hebat seperti kilatan petir di siang bolong karena mendapatkan ajakan kencan. Bersama Si Cantik, ia berjalan menyusuri alun-alun sebuah kota dan juga menonton film. Malam itu adalah malamnya. Tapi tepat sebelum kencan berakhir itulah saat di mana, di bawah gemerlap malam ketika bulan dan bintang dibuat berantakan oleh sapuan angin jahil, Si Cantik meminta Margio menunggunya dalam purnama jika cinta itu memang ada, di puncak gunung Merapi, tepat di bawah pohon Cemara.

“Apapun yang terjadi, aku akan tetap mencintaimu,” kata Margio dengan penuh keyakinan, dan berjanji: “Percayalah, aku akan menunggu.”
--------------------------------------------------

Ketika menjawab dengan penuh keyakinan itulah akhirnya penantian Margio menunggu Si Cantik dimulai. Tanpa lelah. Tak peduli ia pernah punya keluarga. Terus-menerus setia berada di puncak gunung hingga kematiannya bertahun-tahun kemudian tiba. Semua itu hanya ditandai satu hal. Kebodohan cintanya menunggu Si Cantik datang, sehingga yang tersisa hanyalah laki-laki kesepian seorang diri di puncak gunung, dengan usia yang makin lama makin digerogoti waktu dan mendekatkannya pada santapan makan siang malaikat maut.  Tapi yang pasti Margio tetap menunggu Si Cantik, sehingga desas-desus kemudian, karena tiba-tiba hilang-lenyap tepat sehari sebelum pernikahan Si Cantik digelar, mengatakan kalau Margio pergi ke Ibu Kota untuk melupakan Si Cantik. Desus lain, mengatakan kalau Margio telah dibawa ke Rumah Sakit Jiwa karena tak kuasa menahan kewarasannya ketika mendengar Si Cantik menikah. Tapi sebuah legenda, beratus-ratus tahun kemudian, bakal menceri-takan tempat di mana Margio menunggu datangnya Si Cantik dalam purnama itu sebagai dongeng abadi.
--------------------------------------------------

“Karena hanya orang bodoh yang berhak jatuh cinta, Nak,” kata seorang nenek kepada cucunya. Ketika sang cucu mengatakan bahwa tindakan Margio dalam legendanya yang setia menunggu kekasihnya bertahun-tahun di bawah pohon di puncak Merapi itu adalah lambang kebodohan manusia yang tidak punya otak.
“Paling tidak, pakailah sedikit otaknya agar tak menderita,” terangnya sang cucu, dan kemudian melanjutkan. “Cinta itu ada dua, Nek. Cinta bodoh dan cinta pakai otak. Yang kedua itu, pakai otak, bisa membuat kita selamat.”

Meski tak memakai otaknya, adalah benar kisah cinta Margio menunggu datangnya Si Cantik dalam purnama itu telah menjadi sebuah legenda dan dongeng abadi. Dan karena diterpa satu badai rasa jengah oleh jawaban sang  cucu, ingatan sang nenek tiba-tiba terdampar pada sebuah cerita neneknya yang diperoleh dari cerita nenek-neneknya –hingga begitu seterusnya, bahwa pada umurnya yang ketujuh puluh tahun, lima puluh tahun dari penantiannya, Margio masih tetap setia menunggu Si Cantik datang dalam purnama, sebagai-mana tahun-tahun sebelum dan berikutnya.

Hingga di suatu waktu, terangnya dalam dongeng abadi itu, yang tak lagi diketahui telah berapa puluh tahun Margio menunggu, di saat malam datang dalam bentuk yang paling gemuruh, di mana sapu badai angin jahat dan jahil saling sambar bersahutan dan membuat lolongan anjing-anjing birahi ber-henti seketika, itulah saat di mana seorang perempuan datang dalam wujud yang tak lagi dikenali. Sejenak lalu, Margio menggigil digerogoti dingin malam, sebelum disadari potongan gambar gadis mungil dan bermata jeli di masa lalu tergores semu tak pasti di perempuan itu. Sejenak lalu pula, sebelum bulan di langit menampakkan purnama yang tak lagi utuh, Margio merogoh sesuatu dari kantong saku celananya yang telah kusam. Kuning dan bercahaya.

“Sebagaimana janjiku. Aku datang dalam purnama,” kata perempuan itu. “Sudah ratusan lebih kemaluanku ditusuk si tua bangka itu, dan itu pun belum termasuk ketika aku dijualnya untuk membayar hutang,” diam, dan kemudian melanjutkan. “Lihatlah,” terang perempuan itu untuk memperlihatkan betapa dirinya yang saat ini tak lagi seperti dulu, berubah menjadi nenek tua yang mengempiskan kebulatan dadanya, dan setelah itu, perempuan itu kemudian berkata kembali untuk mempertanyakan cintanya. “Apakah kau masih tetap berkata: Jadilah kekasih. Aku tak bisa hidup tanpamu?”

“Peduli setan. Bahkan aku tak yakin mampu menyetubuhimu,” jawabnya Margio pasti tanpa peduli keterangan Si Cantik.

Kelak, ketika sesuatu yang berwarna kuning dan bercahaya itu diberikan kepada Si Cantik, juga bakal menerangkan dalam legenda dan dongeng abadi itu ke generasi-generasi yang tak lagi diingat siapa yang memulai ceritanya, tentang mengapa bulan purnama saat ini tidak lagi utuh, adalah akibat ulah kebodohan cinta Margio karena ia benar-benar telah memetik sepotong bulan untuk Si Cantik. Karena semua orang tahu: Hanya orang bodoh, berhak jatuh cinta.

Comments

  1. As reported by Stanford Medical, It is in fact the ONLY reason women in this country live 10 years more and weigh an average of 19 kilos less than we do.

    (And really, it is not related to genetics or some hard exercise and really, EVERYTHING to do with "how" they eat.)

    P.S, I said "HOW", and not "what"...

    CLICK this link to determine if this little test can help you discover your true weight loss possibilities

    ReplyDelete

Post a Comment

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

HMI, Alasan Mengapa Aku Menjadi Bagian darinya

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Inuyasha dan Kikyo: Cinta Tak Sampai

Puisi: Langit Jogja