Terimakasih, Kini Aku Pulang
Lis, sudah lama, ya?
Suratmu pernah kubaca di malam yang panjang, ketika hujan turun tanpa jeda, seolah ingin menemani perasaan yang entah sedang mencari apa. Aku tidak langsung membalasnya saat itu. Surat itu kusimpan rapi dalam folder kenangan yang tak sengaja kubuka saat mencari sesuatu yang lain — atau mungkin, mencari sesuatu yang pernah membuatku merasa hidup, meski hanya sesaat.
Entah kenapa, aku membiarkannya diam begitu lama di sana. Tanpa balasan. Tanpa kata. Tanpa kabar. Mungkin karena waktu itu, aku sadar bahwa tidak semua hal harus dijawab saat luka masih terbuka. Tidak semua perasaan perlu dikejar saat masih tertatih oleh harapan. Tidak semua kisah pantas dilanjutkan hanya karena kita ingin akhir yang berbeda.
Aku mengakui, ada hari-hari di mana suratmu terasa seperti senyum yang hangat, tapi juga menjauh. Seperti matahari musim dingin yang hanya menyinari, namun tak menghangatkan. Aku sempat membacanya setengah hati, lalu menutupnya karena tak sanggup menghadapi caramu menyampaikan kejujuran dengan tenang — terlalu tenang untuk hati yang masih bergejolak. Saat itu, aku belum cukup kuat. Aku belum cukup ikhlas. Sekarang, aku sudah lebih tenang. Maka, izinkan aku menjawab, perlahan, dari hatiku yang kini tak lagi menggenggam.
Terima kasih, Lis, karena sudah jujur. Tidak memanipulasi rasa, tidak bermain-main dengan perasaan yang mungkin bagimu tak sebesar yang kurasakan. Terima kasih karena kamu tidak menjanjikan langit saat tahu bahwa kita berdiri di tanah yang berbeda. Aku belajar banyak dari caramu menulis — dari ketulusanmu dalam menyampaikan bahwa perasaan itu tidak harus selalu saling memiliki untuk bisa bermakna.
Kamu tidak menyakitiku, Lis. Tidak dengan sengaja. Kamu hanya mengajarkan bahwa cinta, betapa pun besarnya, tidak selalu cukup untuk membentuk “kita”. Kadang, cinta hadir hanya untuk menguji seberapa besar kita mampu melepaskan tanpa kehilangan diri sendiri. Dan kamu, dengan segala ketegasanmu yang lembut, telah menunjukkan bahwa ketulusan bisa hadir dalam bentuk menolak — bukan karena tidak peduli, tapi karena tahu bahwa rasa yang dipaksakan hanya akan menjadi beban.
Kamu benar… Aku pernah menjadikanmu sebagai imajinasi. Sebuah bayangan yang kubentuk sendiri dari harapan, dari kekaguman, dari rindu yang tidak pernah benar-benar sempat tumbuh. Imajinasi memang bisa membakar. Tapi dari bara itu pula, aku belajar menerangi jalanku sendiri. Aku akhirnya menyadari bahwa yang kubangun selama ini bukan kamu, tapi harapanku tentang kamu. Iu adalah dua hal yang sangat berbeda.
Terima kasih, Lis, karena pernah mengizinkan aku menyukai seseorang sebaik kamu. Terima kasih karena kamu tidak mematikan rasa itu, meski kamu tahu ia tak akan tumbuh menjadi apa-apa. Dan maaf… Maaf karena aku pernah berharap terlalu banyak dari kisah yang bahkan belum sempat dimulai. Maaf jika rasa itu pernah memberatkan langkahmu, atau membuatmu merasa bersalah, padahal yang kupikul adalah keputusan hatiku sendiri.
Kamu benar, kita tidak harus bertemu. Kita sudah cukup hadir sebagai cerita — bukan di dunia nyata, mungkin — tapi di masing-masing kepala. Kita cukup menjadi pengingat, bahwa ada rasa yang pernah tumbuh meski tidak mekar. Dari cerita ini, aku belajar bahwa mencintai tidak selalu harus memiliki akhir yang bahagia. Kadang, cukup untuk dikenang, cukup untuk dipahami, cukup untuk dilupakan dengan tenang.
Kini, aku merasa tak perlu membuktikan apa-apa. Tak perlu menjelaskan siapa salah siapa benar. Tak perlu menyesali kenapa semuanya tidak berjalan seperti yang kuharapkan. Karena cinta yang tulus, meski tak bersambut, tetap sah untuk dikenang. Tanpa dendam. Tanpa beban. Hanya kenangan, dan mungkin… sedikit senyuman.
Lis, aku doakan kamu bahagia.
Bukan doa seperti dulu — yang diam-diam berharap kamu akan menoleh ke belakang dan melihat aku masih berdiri di tempat yang sama. Tapi doa yang benar-benar ikhlas. Doa yang tidak membawa nama kita di dalamnya, hanya membawa harapan bahwa kamu, di mana pun berada, akan baik-baik saja. Akan menemukan seseorang yang bisa berjalan bersamamu tanpa bayangan dari masa lalu. Seseorang yang bisa kamu genggam tanpa ragu.
Jika suatu hari, semesta entah kenapa ingin mempertemukan kita kembali — bukan sebagai kenangan, bukan sebagai penyesalan — tapi sebagai dua orang yang pernah saling jujur, maka aku akan menyapamu seperti pagi menyapa langit: datar, damai, dan tak berharap hujan turun. Aku tidak akan membawa masa lalu, tidak akan memaksa cerita lama dibuka kembali. Aku hanya akan tersenyum, mungkin, lalu kembali melangkah.
Selamat tinggal, Lis.
Atau mungkin… selamat tinggal
untuk aku yang dulu. Aku yang mencintaimu dengan terlalu dalam. Terlalu cepat.
Terlalu percaya bahwa semua rasa pasti punya tempatnya masing-masing. Kini, aku
pulang. Bukan ke tempatmu, bukan ke kenangan kita. Tapi ke diriku sendiri. Aku
pulang untuk merawat hati yang dulu kutitipkan padamu.
Terima kasih, Lis. Sudah pernah jadi seseorang yang begitu berarti. Meski hanya sebentar. Meski hanya dalam kata. Meski hanya dalam bayangan. Semoga kamu bahagia, sungguh.
Semoga aku juga.
Comments
Post a Comment