Prahara Engineer Bangkalan: Sudah Cinta Mati Kampung, Eh Dibalas dengan Pengangguran
Suatu siang, saat sedang mengajar, ponselku berdering. Nomor lama. Teman lama. Hampir setengah tahun kami tak bertegur sapa. Naluri bilang, ini bukan sekadar “eh kabar gimana bro?” Betul saja. Telepon itu bukan salam pertemanan, melainkan keluhan berdurasi 11 menit 23 detik. Sejenis ratapan eksistensial ala Zainuddin yang baru tahu bahwa Hayati sudah menikah.
Temanku ini engineer. Insinyur, kalau pakai diksi Orde Baru. Gagah. Bergelar. Bersertifikat. Eh, sayang, Bangkalan menatapnya dengan mata kosong —seperti dia bukan siapa-siapa.
Dia baru resign pekerjaan mapan dari rantau, dari tanah Malin Kundang. Alasannya mulia: ingin dekat keluarga, berbakti kepada kampung halaman. Tapi harapannya bertepuk sebelah tangan. Lowongan kerja? Nihil. Yang ada malah beban baru di pundak keluarga. “Kulo mboten niki-ningi, mas,” katanya sambil nyengir getir.
Keluhan seperti ini bukan barang baru. Apalagi bagi kami, alumni jurusan Teknik dan turunannya, yang mencoba pulang kampung dengan harapan bisa hidup selaras dengan bumi kelahiran. Tapi ya itu: Bangkalan tidak (atau belum) siap menerima value proposition kami. Kami ini, mohon maaf, seolah terlalu maju untuk daerah yang masih bertengger nyaman di pertanian konvensional.
Teman lain bahkan sudah banting setir. Ada yang jadi guru honorer, ada yang jadi kuli bangunan, ada pula yang akhirnya ikut orang tua dagang cilok. Bukan karena mereka tidak kompeten, tapi karena pekerjaan yang sesuai background mereka—teknik sipil, industri, kimia, elektro, arsitektur, sistem informasi—cuma ada di kolom mimpi.
Lebih pilu lagi, seorang teman perempuan, pintar, rajin, cekatan, dedikatif (dan cantik, tentu saja)—akhirnya menyerah sejak didekap menganggur selama tiga tahun. Setelah istikharah panjang, seperti mendapatkan sejenis ilham dari langit, dia memilih jalan hidup yang paling realistis: menikah. Katanya, “bulanan dari suami lebih jelas daripada menunggu lowongan kerja dari pemkab.”
Mari kita buka data BPS Bangkalan 2024. Penyerapan kerja didominasi sektor pertanian: 51,2%. Lalu perdagangan 24,5%, jasa 10,2%. Sektor industri dan konstruksi, tempat kami berharap, hanya menyisakan ruang sempit: 7,8% dan 6,3%. Mepet. Sumpek. Nyaris tak bisa bernapas.
Jadi ini bukan salah kami, bukan salah ijazah kami, tapi Bangkalan yang belum siap. Kalau boleh sombong dikit, kami ini bukan gagal beradaptasi—kami cuma kebetulan lahir terlalu cepat untuk tempat yang terlalu lambat.
Jika tidak tahan nganggur dan tak ingin jadi bahan gibah tetangga, kepada kawan itu, jawabku hanya ada tiga opsi: banting setir, merantau lagi, atau menikah (yang ini kadang terasa seperti menyerah, tapi setidaknya dapat THR). Kembali merantau ini bukan karena tidak cinta kampung halaman, tapi kampung halaman belum tahu cara mencintai kami balik.
Sektor pertanian memang jadi tulang punggung Bangkalan, tapi punggungnya keropos. Produksi tak naik signifikan, profit kecil, cuma cukup untuk beli nasi dan bensin motor. Padahal kalau dimodernisasi, sektor ini bisa jadi ladang emas. Sayangnya, kita lebih sibuk bangun gapura desa daripada infrastruktur pengairan.
Bayangkan, kalau pemerintah desa dan kabupaten mau duduk bersama, ngopi-ngopi sambil buka laptop—kami, para sarjana pengangguran ini, bisa dilibatkan, dirangkul, dibentuk menjadi bagian tim pertanian modern. Cukup dua-tiga orang per desa. Tak harus lulusan pertanian. Kami anak teknik juga bisa ngitung debit air, bangun irigasi, bikin model tanam pakai Excel. Distribusi? Pasar? Santai. Kami ngerti e-commerce, ngerti supply chain, ngerti digital marketing. Kami ini orang-orang yang melek zaman. Tinggal dikasih panggung, bukan dibuang ke sudut.
Eh tapi tunggu dulu. Beberapa bulan lalu, sempat ada angin surga. Pemerintah bilang ingin fokus investasi sektor industri. Katanya biar bisa menyerap tenaga kerja dan entaskan kemiskinan. Manis sekali, seperti janji mantan yang minta balikan tapi masih chat-an sama gebetan baru.
Padahal ya, realitasnya tak seindah itu. Bangkalan kurang diminati investor karena banyak hal: 1.) infrastruktur pas-pasan, 2.) aktivitas ekonomi masih sebatas pasar tradisional, 3.) daya beli masyarakat kecil, 4.) kepastian hukum dan birokrasi? jangan tanya, dan 5.) stereotip Madura di mata luar juga belum sepenuhnya membaik.
Menggaungkan "investasi industri" sah-sah saja, tapi jangan jadikan itu solusi jangka pendek. Pembangunan industri butuh waktu lama. Sementara masyarakat keburu lapar. Kalau realistis, sektor perdagangan justru lebih masuk akal untuk difokuskan sekarang. Kenapa? 1.) tidak butuh investasi besar. 2.) Bisa menyerap tenaga kerja cepat, 3. infrastruktur sudah memadai, dan 4.) cocok dengan karakter UMKM dan pasar lokal Bangkalan.
Jadi pertanyaannya: bagaimana desain strategi pengembangan sektor perdagangan yang tepat sasaran untuk Bangkalan ini?
Maaf, saya enggan menjawab. Mosok saya juga yang mikir? Lha kerjanya Pemkab Bangkalan apa? Masa iya cuma bagi-bagi proyek infrastruktur, terus posting di Instagram pakai caption “Bismillah berkah”?
Satu hal lagi. Jika Bangkalan betul ingin maju, bukan hanya butuh doa dan dzikir, tapi juga butuh data dan mikir. Sudah cukup kami aja jadi generasi korban narasi. Sekali-sekali, ayo kasih ruang bagi kami untuk mencipta, bukan cuma menyalahkan nasib. Atau, jangan-jangan, kami memang harus terus pergi... karena pulang hanyalah kata kerja yang tak pernah punya rumah?
Comments
Post a Comment