Satu Paragraf: Adolf Eichmann

Satu waktu aku pernah memilih sebuah buku tentang pengadilan Adolf Eichmann. Aku memiliki gambaran yang agak samar tentang dia sebagai penjahat perang Nazi, tapi tidak ada minat khusus terhadap orang ini. Kebetulan saja buku ini terlihat olehku saat ke perpustakaan. Aku mulai membaca dan belajar bagaimana letnan kolonel yang sangat praktis di SS ini, dengan kacamatanya yang berbingkai logam serta rambut yang menipis, tidak lama setelah perang dimulai, ditugaskan oleh markas besar Nazi merancang sebuah ”penyelesaian akhir” bagi bangsa Yahudi —yaitu pemusnahan— dan bagaimana dia meneliti cara-cara yang paling baik dalam melaksanakan pemusnahan itu. Kelihatannya hampir tidak pernah terlintas dalam benaknya mempertanyakan moralitas atas tindakannya. Yang dia pikirkan hanyalah bagaimana cara terbaik membinasakan bangsa Yahudi dalam waktu yang sangat singkat serta biaya serendah mungkin mengenai sebelas juta orang Yahudi yang menurut dia harus dimusnahkan di Eropa. Eichmann mempelajari berapa banyak orang Yahudi yang dapat dimasukkan ke dalam setiap gerbong kereta api, berapa persen yang akan meninggal lantaran sebab-sebab ’alamiah’ selama dalam perjalanan, jumlah minimal orang yang diperlukan guna menjalankan operasi ini. Cara termurah memusnahkan mayat —bakar, atau kubur, atau menghancurkan mereka. Sambil duduk di kursinya, Eichmann mempelajari semua angka-angka itu. Begitu dia memasukkannya ke dalam operasinya, segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Setelah perang berakhir, sekitar enam juta bangsa Yahudi telah dimusnahkan. Anehnya, orang ini sama sekali tidak pernah menyesal. Dalam pengadilan di Tel Aviv, duduk di belakang kaca antipeluru, Eichmann kelihatannya sama sekali tidak mengerti mengapa dia diadili, atau mengapa mata dunia tertuju padanya. Dia hanya seorang teknisi, tegasnya, yang menemukan jalan keluar paling mudah mengatasi masalah yang ditugaskan padanya. Bukankah dia hanya melakukan apa yang juga akan dilakukan oleh birokrat baik lainnya? Jadi mengapa hanya dia yang dituduh? Mencoba memahami ini, aku jadi teringat apa yang pernah dikatakan oleh seorang tokoh yang entah lupa siapa namanya bahwa semua adalah masalah imajinasi. Tanggung jawab kita dimulai olehnya, kekuatan imajinasi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Yeats bahwa tanggung jawab dimulai dengan mimpi. Atau seperti, selain Adolf Eichmann yang terperangkap —entah suka atau tidak— dalam impian sinting seorang bernama Hitler, kita bisa lihat dalam drama tragedi karya William Shakespeare saat Romeo dan Juliet meminum racun lewat persoalan imajinasi bahwa cinta adalah segalanya.


Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

HMI, Alasan Mengapa Aku Menjadi Bagian darinya

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Pulang, Karya Leila S. CHudori

Emansipasi: Kedudukan Wanita dan Laki-Laki