Nikita Mirzani, Perempuan Gila yang Kita Butuhkan!
Berbeda dengan Dian Sastro yang dianggap prototipe perempuan ideal oleh Puthut EA, punya karir bagus, selalu tampil menawan dan dapat suami tajir pula; dalam pandangan bualku, Nikita Mirzani tampil beda untuk mensimbolkan diri sebagai perempuan.
Pada segi fisik,
bagi para pengkhayal Nikita memang tidak bisa disandingkan dengan keaduhaian subhanallah-nya Chelsea Islan dalam
mengarungi kehidupan tak berperi ini. Atau dengan Anya Geraldine, the best of woman-nya para jomblo; sejak
mereka muntap, merintih dan murtad dari jomblo syari’ahnya saat ditinggal nikah
Isyana Sarasvati.
Tapi
percayalah, meski bagi banyak kalangan Nikita diasosiakan dalam bentuk negatif
serta selalu dijadikan objektifikasi bahan keliaran fantasi jari-jemari di
kamar mandi, sebenarnya, tanpa mengurai hormatku bahwa dia emang sexy dan
ciamik, melampaui prasangka tersebut.
Lewat gaya
bicara ceplos-ceplos, penuh satire, dan tentu saja bakal terasa pedas dan
terasa panas seperti ‘Sambalado’nya
Ayu Ting Ting, serta tak kenal takut berceloteh, sudah mengisyaratkan
kesimpulan begitu kuat pada kita bahwa Nikita Mirzani, sebagaimana julukannya,
adalah sebaik-baiknya simbol wanita amazon sebenarnya: kuat, tanguh dan
berbahaya.
Kalian boleh
tak sejutu dan tetap bersikukuh bahwa apa yang dilakukan Nikita hanya untuk
membuat sensasi agar popularitasnya melejit. Tak lebih dari itu. “Agar bisa nerima banyak endors,” kalau
kata seorang teman saat aku nyeletuk betapa berani dan kerennya Nikita
mengomentari penjemputan sang maestro FPI dan menyebut ‘habib’ sebagai tukang
obat.
Sebab Kawan,
menjadikan Habib Rizieq sebagai bahan hanya untuk membuat sensasi, tokoh
karismatik sejuta umat yang sudah tiga kali puasa dan tiga lebaran tidak bisa
pulang seperti bang Toyib itu adalah tindakan bodoh. Resikonya terlalu besar
daripada mendomplang popularitasnya.
Ingat Habib
Rizieq bukan tokoh kaleng-kaleng. Dia penggerak ulung. Ribuan atau mungkin
jutaan masa saat memadati Monas meminta keadilan menyoal Ahok adalah contoh
betapa bahaya berurusan dengan sang maesto ini. Jadi tidak heran, hanya
berselang berapa saat komentar Nikita diunggah, sudah dipersoalkan.
Pertama
adalah Habib Alwi, dengan keras berkata jika Nikita tak meminta maaf maka akan
dilaporkan. Lain, tak kalah sadis, murka terhadap Nikita muncul dari entah
siapa yang menyebutnya ustad, yang haduh tak terukur banget na’udzubillahimindzalik pemilihan kosa
katanya. Bahkan ‘djancook’nya Surobayo masih kalah kasar Cok!
Jadi apakah
ini semua hanya sensasi semata? Hanya untuk mendongkrak popularitas? Ayolah!
Ini Habib Rizieq. Bukan Lesti dan Rizky Billar. Atau Dinda Hauw dan Rey
Mbayang. Marilah kita berfikir dengan sedikit saja melepaskan sisi kontroversi
Nikita dan berusaha berpendapat seobjektif mungkin dalam kasus ini, tanpa
prasangka.
Toh selain
keberanian Nikita menyoal penjemputan Habib Rizieq ketika pemerintah mulai bisu
menyikapi keacuhan protokol kesehatan saat itu, bangsa ini juga butuh sosok
perempuan seperti Nikita di tengah makin pasifnya perempuan terhadap opini
publik. Juga kesibukkan mereka dengan produk kecantikan glowing skin. Tapi anehnya, saat kita puji cantik seperti Dewi
Chang’e dalam serial Kera Sakti, mereka, dengan pakai senyum sipu malu segala,
membantah: “Biasa aja kok. Cantik itu relatif.” (Kan bangsat?!)
Apalagi
bulan lalu. Saat aktris lain berkiblat dan menjadi corong pemerintah mendukung
pengesahan Omnibus Law, Nikita tampil
beda. Dia ikut menyindir orang nomor satu di parlemen, Puan Maharani. Selain
menyinggung kejahilan tangan Puan mematikan microfon saat anggota dewan lain
sedang berbicara, dia juga mengingatkan ketua DPR itu tentang Pancasila sebagai
dasar bernegara.
Sadis,
bukan? Orang yang berapa bulan sebelumnya meminta masyarakat Sumatera Barat
agar menjadi provensi yang mendukung negara Pancasila, malah diceramahi
pentingnya Pancasila dalam bernegara. Jadi, melihat kenyataan ini, melebihi
pendapat sebelumnya, pada Nikita kita bukan hanya butuh tapi sekaligus
memberitahu bahwa habis gelap terbilah
terang sejak ditinggal R,A Kartini berpuluh-puluh tahun itu, kini muncul
pada sosok Nikita.
Dalam pada
itu, dengan tingkat kesadaran yang tinggi sebagai perempuan, yang kuat,
tangguh, berbahaya, teguh terhadap prinsip, tidak meleleh terhadap ancaman,
kesadaran karakter Nikita ini hanya dapat kita temukan pada sosok Amba dalam
novel karya Laksmi Pamuntjak atau Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia. Atau lagi,
pada sosok Firdaus dalam novel Perempuan di Titik Nol.
Sebab itu, mari kita kuatkan barisan! satukan tekad! dan tegakkan badan! Bahwa kita, teguh mengawal Nikita. Bahwa kita, tetap bersama Nikita. Sebab untuk melawan kelompok gila, kita butuh sosok yang lebih gila.
Hidup, Wanita Amazon!!
Comments
Post a Comment