Saru Paragaraf: Warna
Hujan.
Jalanan basah. Langit menampakkan wajah muram tanpa sebuah salam hangat.
Gerombolan manusia yang berjalan membawa kesedihan dan kebahagiannya
masing-masing. Perasaan yang kadang hanya bisa diterka dari raut wajah,
ekspresi atau tingkah laku. Bagaimanapun hujan membuat hari ini dingin dan
melelahkan. Satu kesibukan datang dengan begitu kejam dan menyedot habis
seluruh perhatianku hingga tidak lagi memiliki kesempatan untuk mendatangkan
pikiran tidak penting seperti biasanya. Arah jarum jam seolah bergerak
tergesa-gesa. Seperti tidak ingin bersahabat denganku dengan sedikit saja memberikan
jeda untuk bermalas-malasan barang sejenak. Eh, aku salah. Mengejar sesuatu membuat
satu detik menuju 60 menit menjadi begitu lambat. Seperti hari ini, di mana aku terjebak dalam
pusaran waktu yang memaksaku mencintai kenyataan. Tentang hari jum’at dan
hujannya yang deras, dan tentang hari jum’at yang tidak menghadirkan ruang
untukku memperhatikan banyak hal, termasuk warna. Hingga malam menjelang tak
ada keinginan apa-apa selain lelap. Tidur nyaris lima jam lebih cepat dari
biasanya adalah hal yang sangat jarang. Mau bagaimana lagi. Hari ini
kesadaranku memang harus betul-betul terjerat dalam kamar yang gelap. Dan di
sana, di kamar, aku merasa seperti orang buta yang berada di antara cahaya dan
bermacam-macam spektrum warna, tapi tidak terlihat ada apa-apa selain gelap.
Sepertinya aku telah tersekap oleh jala hitam yang mengepung dan tak membiarkan
aku lolos dalam kerangkengnya. Akhirnya pekat. Definisi warnaku hari ini sisa
satu. Seperti ilham, tiba-tiba aku bertanya kepada diriku: kira-kira bagaimana
rasanya menjadi orang yang tak lagi mampu menangkap warna atau pun gambar?
Entahlah. Yang kutahu sepelik apapun keadaannya selalu ada hal yang sangat
layak untuk kita syukuri. Salah satunya adalah sepasang mata yang memiliki
kemampuan melihat ragam kehidupan; segala rupa dari warna. Hmm… penglihatan
memang tampak seperti sesuatu yang terlihat sederhana, jarang diperhatikan,
namun merupakan hal yang justru memiliki nilai tinggi. Akhhh... sudahlah, tidak
perlu diperpanjang lagi. Sekarang kau tentu sudah tahu warna hariku, bukan?
Hitam. Warna yang lebih mengisyaratkan duka. Kesedihan. Seperti keterlambatanku
yang hanya mampu menuliskan tumpukan kata yang berantakan ini. Atau seperti
warna masa depanku yang masih belum bisa kuraba: sebagaimana hujan datang
dengan wajah muram tanpa sebuah salam hangat.
Comments
Post a Comment