Untuk, Lis: Perihal Sebuah Permintaan

Seriusan Lis, aku bingung harus memulai surat ini lewat kalimat apa. Terlintas di benak ingin kumulai lewat permintaan maaf karena takut mengganggu dan dianggap lancang, tapi selain karena klise aku takut kalimat itu dikira hanyalah bumbuan basa-basi untuk mendapat sejumput pengertianmu agar menerima dan membaca surat ini. Jadi mohon dimaklumi. Toh, maaf bukan cari pembenaran, secara psikologis bukankah ini merupakan masalah laten sisi kemanusiaan bagi mereka yang sangat mengharapkan sesuatu tapi takut salah langkah saat memulai?

Akhirnya bingung dan merasa serba salah.

Agar tidak salah paham dan dianggap menuntut lebih, terlebih dulu kuletakkan petuah bijak “dunia ini dipenuhi dengan orang yang kita inginkan, tapi tak menginginkan kita, dan sebaliknya” ini sebagai realitas kehidupan yang harus diterima. Jadi kau tidak usah risau dengan perasaanmu. Kuterima realitas petuah bijak ini selayaknya apa yang biasa kita temui: seperti kenapa pada akhirnya daun menggugurkan diri dari ranting pohon, kenapa hujan turun dan kenapa pada bulan tertentu ada musim kemarau, dst..

-------------------------------------------------------------------------------------

Aku akan bicara jujur. Tapi tetap dalam koridor tertentu. Aku tidak tahu kenapa aku suka kepadamu, Lis.

Seingatku waktu itu kelas 2/3 SMP. Aku bersama teman-teman SMP nongkrong di Warung Kopi. Kami ngobrol banyak hal dalam batas pemahaman anak SMP. Obrolan terus mengalir sampai pertanyaan menohok salah satu teman menuju kearahku. Menge-nai mengapa aku tidak mendekati perempuan. Aku terus saja mengelak dan diam hingga akhirnya menjawab “tidak tahu” karena mereka terus saja menuntut jawabanku sambil diselingi ledekan tak senonoh ala santri di Pondok.

Sebenarnya Lis, aku tahu dengan pasti mengapa aku tidak mendekati perempuan. Aku hanya tak mengungkapkannya kalau aku adalah orang yang tidak percaya diri. Aku minder. Entah terselip realistis atau pemisis, aku termasuk golongan orang yang selalu merasa tidak punya nilai lebih atau sesuatu yang dapat kubanggakan untuk mendekati perempuan. Aku selalu berada dalam lingkup pemikiran itu. Akhirnya keragu-raguan mengusaiku untuk melangkah maju.

Hingga akhirnya, entah itu apa karena darah remaja mengalahkan kerealistisan atau pandangan pesimisku atau juga karena kekonyolan tidak tahan ejekan teman, aku menghubungi teman lain & meminta nomor HP perempuan satu SMP. Salah satu pemilik nomor HP yang dikirim teman itu adalah kamu Lis. Waktu itu tepat liburan Pondok. Jadi sepertinya aku tak salah ingat. Aku memang mulai mengenalmu lewat saling balas pesan SMS saat SMP. Aku ingat betul. Sebab selang lepas liburan, teman yang mengirim nomor HP-mu memberitahuku. “Itu lho, anaknya! Benarkan apa yang kukatakan?” Aku senyum saja waktu itu –tepat saat telunjuk teman itu mengarah ke tempatmu.

 

[Aku bukannya mau memelodramakan Lis. Aku ingin membangun cerita masa lalu ini sebagai salah satu konsepsi untuk meletakkan pondasi penting sebagai alasan kuat aku menuliskanmu surat dan mengenai kenapa surat ini dengan tegas kuberi judul “Sebuah Permintaan”. Jadi sudilah luangkan sedikit waktumu untuk bertahan barang sejenak.]

Sejak saat itu aku mulai memperhatikanmu dalam satu jarak yang kubuat sendiri. Satu jarak di mana aku mulai memperhatikanmu dalam diam. Jika kuingat kembali, bila semua itu ditarik dalam tarikan garis lurus, jarak yang kubuat itu meruntunkan suatu kronologis bagaimana aku mulai membiasakan diri pada beberapa titik terus berulang: seperti aku harus ada di mana saat berangkat sekolah untuk melihatmu, istirahat harus di tempat mana dan pulang sekolah harus sembunyi di mana. Semua itu kulakukan dalam diam dan sembunyi. Sialnya semua itu membuatku keasikan. Gambaranmu yang kutangkap seolah-seolah telah mengantarkanku pada perkenalan lebih lanjut.

Imajinasiku pun meledak. Malam hari aku berkelana dalam khayalan. Aku mulai asik dalam sepi dan mulai mencoretkan kata dan kalimat agar membentuk sebuah puisi. Aku seperti telah berhasil membuat dunia baru. Sebuah dunia yang hanya terisi dengan apa yang aku harapkan. Senyumanmu, cara bicaramu, pandanganmu, langkah kakimu, dst.. yang kutangkap dalam bahasa diam, melalui jarak yang kubuat, aku abstraksikan dan kupaksa masuk mengisi relung dunia baruku, khayalku.

Aku senang tak terkira. Setiap kali aku berhasil memasuki pintu ‘dunia’ itu aku merasa keasikan dan girang. Sampai dewasa, jika aku ingat semua itu, aku seperti tidak ada beda dengan tokoh dalam novel Don Quixote yang tak bisa membedakan dunia imaji dan realita (apa kamu pernah membaca?). Dari sana aku mulai memikirkan: sebenarnya aku menyukaimu karena kamu adalah kamu atau aku menyukaimu karena imajinasiku yang kutangkap itu kulekatkan pada dirimu –sehingga bias?

Bingung Lis? Maaf.

Sebab saat SMA dan mulai berkomunikasi lebih intens denganmu, aku beberapa kali denial/menyangkal kenyataan jika kamu tidak sesuai dengan imajinasiku. Sampai di sini sudah pahamkan? Sebab, mungkin aku terlalu asik dalam euforia ketika menangkap gambaranmu sehingga semua warna-warni imajiku berlebihan dalam menilai dirimu. Akhirnya bias. Atau mungkin dengan istilah yang biasa kau pakai adalah fatamorgana. Sebab saat aku mulai mendekat bayangan imajinasiku tentang dirimu memudar.

Lepas masa SMA aku mulai menyerah meski terkadang masih menghubungimu. Terakhir aku melihatmu saat akhir Ujian Nasional. Tepat waktu pembubaran upacara. Aku memperhatikan dengan serius waktu itu karena aku yakin aku takkan melihatmu lagi. Tapi saat aku tahu kau akan kuliah di Surabaya, sebenarnya aku ingin kuliah di sana juga. Beberapa kali aku mencoba tapi gagal. Akhirnya aku memutuskan di Jogja.

“Jogja, mungkinkah ini sebuah akhir?” Aku kadang berfikir demikian.

Sebab Jogja Surabaya bagiku bukan hanya soal bentangan jarak semata melain-kan sebuah batas yang mengantarkanku kepada sebuah koridor pemahaman tertentu bahwa di dalamnya ada dinding pemisah yang tegas untuk memaknai pemahaman siapa aku, siapa kamu. Juga mendefinisikan atau menspesifikkan makna dari kata ‘kita’ dalam realita kehidupan antara aku dan kamu. Maka Jogja bukan hanya tempat baru yang akan kusinggahi melainkan juga akan menjadi lembaran baruku membuka buku.

Itulah pemikiranku saat itu: mencoba menutup buku.

-----------------------------------------------------------------------------------------

Memasuki awal masa kuliah aku menjajaki hal baru dengan berkenalan dengan perempuan tapi beberapa kali aku merasa bersalah pada mereka. Aku seperti mencari sesuatu pada diri mereka. Sesuatu yang tidak pasti tapi tetap aku paksakan. Seperti aku pernah berkenalan dengan perempuan satu angkatan beda jurusan. Seorang teman kos yang mengenalkanku kepadanya. Dia anak periang sekaligus (maaf) cerewet. Beberapa kali kami jalan bareng.

Kesalahan pertama, aku seringkali berkhayal saat jalan dengannya betapa jalan bareng itu bakal beda saat aku jalan bareng denganmu Lis, bukan dengannya. Adapun kesalahan paling fatal pada beberapa kesempatan aku sering mencari kemiripan antara dirimu dengannya atau imajinasiku tentang dirimu dengannya.

Itu tidak benar, Lis. Itu bakal menyakitinya.

Aku bergejolak dalam batin itu.

Aku bukan mendramatisir atau lebai Lis. Aku adalah anak laki-laki tunggal dan semua saudaraku perempuan. Sampai saat ini aku masih beranggapan bahwa hukum kualat itu berlaku padaku jika menyakiti perempuan. Aku juga mengalami beberapa hal traumatis mengenai ini. Saat masih di Pondok aku juga pernah mendapati pengalaman bagaimana perasaan perempuan saat mereka disakiti. Betapa hancur hati mereka. Aku juga merasa pernah berapa kali menyakitimu lewat sikapku yang egois dan kekanak-kanakan. Kamu mungkin lupa. Tapi sampai hari ini aku masih ingat.

Sehingga pada berapa hari kemudian aku beritahu gejolak batinku kepada teman kosku yang mengenalkanku padanya. Kusampaikan juga permintaan maafku. Kami pun berpisah sejak itu. (Jika kau masih ingat Lis, itulah saat dimana aku pernah memposting fotomu yang tampak dari belakang itu lewat caption “Hei... noleh sebentar dong”; dan ketahuan olehmu, kamu katakan kira-kira begini “Itu fotoku kenapa diposting, Jul?”)

                Sejak itu aku mulai menghindar pada perempuan hingga pertengahan semester 3 kuliah aku bertemu dengan perempuan satu angkatan jurusanku di kepanitian kampus. Sebelum itu juga aku banyak dan sering dinasehati teman kosku itu untuk terlepas dari imajiku tentang dirimu. Aku mulai berusaha dan itu tidak mudah. Bagaimana pun Lis, kau tetap merupakan pembuka horison pertamaku mengenalkan siapa dan bagaimana  perempuan. Gambaranku tentangmu seringkali jadi cerminanku melihat perempuan.

Tapi untuk kali ini, pada diri perempuan ini, aku menemukan sedikit kesamaan denganmu. Dia orangnya sedikit pendiam dan agak pemalu. Hal paling menonjol (maaf) adalah secara fisik. Dia orangnya kecil dan mungil. Bentuk senyuman dari garis bibir yang ditarik kesamping dan mampu mengusap halus pada dinding hati itu seringkali mengingatkanku kepadamu. Sejak pertama kali bertemu aku mulai menyukainya. Aku yakin dia adalah perempuan yang mampu memberiku alasan, paling tidak jika tidak melupakan, bisa mengesampingkan imaji yang kubangun tentang dirimu.

Berkat kongkalikong dengan senior yang jadi ketua Divisi aku dapat tugas sama dengannya, dapat berkenalan, dapat bertukar nomor telepon dan id-line. Berapa minggu setelah kepanitian usai aku mengajaknya jalan ala pedekate mahasiswa. Sejak itu kami mulai akrab meski saat bertemu di kampus kami hanya saling lempar senyum karena takut ketahuan teman lain. Hingga pada satu malam ketika kami sudah beberapa kali jalan bareng dan aku sudah sangat yakin untuk mengambil keputusan dalam sebuah pernyataan, aku mendapat informasi tidak benar tentangnya (yang tidak bisa kusebut). Aku kecewa. Aku marah. Setelah itu akhirnya kami menjadi orang asing.

Bahkan tidak menyapa lagi sampai kami lulus.

--------------------------------------------------------------------------------------------

Mulai itu aku kering pengalaman pada perempuan (kecuali pada tahun 2016 aku terlibat dalam perjodohan keluarga tapi kami menyerah).

Terlebih saat itu aku sudah mulai asik dengan aktif di organisasi. Tapi sesekali bohong jika aku tak terbesit mengingatmu kembali meskipun kucoba meredamkannya. Aku mencoba realistis. Memaksa menerima kenyataan merupakan hal penting sebelum dapat bangkit. Aku coba menerima itu semua setelah memeras pengalaman dan belajar dari kegagalan. Aku pun belajar bangkit dan mulai menganggap dirimu (atau imajinisiku tentangmu) sebagai batas dari jarak, yaitu ufuk: sebab saat jarak mulai kutempuh, sang ufuk terus menjauh. Apalagi saat itu aku sudah mulai jarang berkomunikasi denganmu.

Aku sudah tampak pasrah hingga pada tahun 2014 (jika tidak salah), tepat 12 September aku mengirimkan kado ulang tahun karena satu alasan tertentu. Aku sering mengingatmu kembali dan dua kali memimpikanmu. Tahun 2015 sebenarnya aku sudah menyiapkan kado ulang tahun juga. Sebuah lukisan dirimu berseragam putih SMA. Aku minta temanku seorang anak seni lukis untuk melukiskanmu tapi kuurungkan dikirim karena beberapa alasan. Apalagi waktu itu kudengar entah benar atau tidak dari teman ada seseorang yang mendekatimu jadi keraguanku bertambah untuk mengirimkannya. Maka, pada tahun selanjutnya ketika kamu ulang tahun aku hanya mengirimkan sebuah pesan singkat “Selamat tahun, Lis”.

Apalagi kita sudah dewasa bukan, Lis?

Perihal kenyataan lebih penting daripada sekedar drama romantik dalam sebuah film atau kisah fiksi dalam novel. Kita bukan lagi anak remaja. Aku juga tidak harus terus menerus memimpikanmu dan mengenang atau melihatmu dari jauh. Bahkan kenyataan bagi orang seukuran kita masih lebih penting daripada ide tentang kenyataan itu sendiri. Pandangan kita juga bukan lagi hanya kesenangan semata melainkan sebuah tanggung jawab dan tuntutan hidup di masa depan.

Tahun ini kamu sudah berumur 26 dan sebentar lagi umurku juga bertambah jadi 27 tahun. Sebuah kategori umur yang tidak lagi mendefinisikan waktu sebagai soal garis lurus yang saban hari dapat kita lipat atau tipu atau manipulasi semaunya karena hanya akan menyisakan penyesalan dan kesia-siaan pada masa tua. Sehingga apalagi yang kita butuhkan selain kepastian hidup bukan? Sebab jika tidak kita bakal tergilas dan dilumat habis oleh sifat waktu yang berbentuk garis lurus itu: yang singkat, brutal dan mahal.

Sebentar lagi juga mungkin waktu bakal mengantarkan kita memasuki pada fase hidup kedua setelah lahir dan sebelum ajal menjemput, yaitu menikah. Entah kamu yang duluan atau itu aku. (Atau kamu sudah?)

Tapi sebelum semua itu terjadi Lis, atau mungkin bagiku sebelum itu terlambat dan bakal terbatasi oleh aturan norma atau budaya bagi orang yang menikah, bolehkah kamu mengabulkan permintaanku, Lis? Aku ingin mengajakmu jalan. Sekali ini saja. Aku ingin punya satu kenangan atau gambaran terakhir yang nyata denganmu. Aku tidak ingin lagi mengenangmu hanya dalam batas imajinasi seperti masa remajaku dulu: diam dan bersembunyi dalam jarak.

Boleh, kah? 

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

HMI, Alasan Mengapa Aku Menjadi Bagian darinya

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Inuyasha dan Kikyo: Cinta Tak Sampai

Puisi: Langit Jogja