Aku, Banjarmasin & Tante ida
Berada di perantauan baru, di Banjarmasin, saya merasa seperti hanyut dalam arus yang tak menepi. Tak ada sahabat. Tak ada wajah yang akrab. Setiap sudut kota ini terasa asing, dingin, dan jauh. Seolah saya dan Banjarmasin adalah dua kutub yang tak pernah bisa saling mengenal, hanya saling pandang dari kejauhan tanpa kata, tanpa sambut. Seperti bayangan yang tak diinginkan, berjalan sendiri dalam kota yang sibuk dengan urusannya sendiri. Hari-hari berlalu seperti daun gugur yang tak sempat dirayakan. Saya berjalan dalam sunyi yang gemetar, membenamkan diri dalam rutinitas yang hambar. Tak ada yang menegur, tak ada yang menunggu. Di kamar kos yang sempit, dinding-dindingnya menjadi saksi bisu dari gelombang sepi yang terus mendekapku dalam sunyi. Saya mulai berbicara pada bayangan, menyapa waktu yang terasa terlalu lambat bergerak. Tak seperti kota-kota sebelumnya—Jombang, Yogyakarta, dan Pekanbaru—yang menyambut saya dengan peluk hangat dan warna-warni pengalaman, Banjarmasin seaka...