Aku, Banjarmasin & Tante ida

Berada di perantauan baru, di Banjarmasin, saya merasa seperti hanyut dalam arus yang tak menepi. Tak ada sahabat. Tak ada wajah yang akrab. Setiap sudut kota ini terasa asing, dingin, dan jauh. Seolah saya dan Banjarmasin adalah dua kutub yang tak pernah bisa saling mengenal, hanya saling pandang dari kejauhan tanpa kata, tanpa sambut. Seperti bayangan yang tak diinginkan, berjalan sendiri dalam kota yang sibuk dengan urusannya sendiri.

Hari-hari berlalu seperti daun gugur yang tak sempat dirayakan. Saya berjalan dalam sunyi yang gemetar, membenamkan diri dalam rutinitas yang hambar. Tak ada yang menegur, tak ada yang menunggu. Di kamar kos yang sempit, dinding-dindingnya menjadi saksi bisu dari gelombang sepi yang terus mendekapku dalam sunyi. Saya mulai berbicara pada bayangan, menyapa waktu yang terasa terlalu lambat bergerak.

Tak seperti kota-kota sebelumnya—Jombang, Yogyakarta, dan Pekanbaru—yang menyambut saya dengan peluk hangat dan warna-warni pengalaman, Banjarmasin seakan memilih diam. Ia membisu, membiarkan saya terbenam dalam hari-hari kosong yang mengabur, seperti senja yang tak jadi jingga. Sampai akhirnya, ia mengirimkan seseorang—sebuah jembatan takdir—yang perlahan menyulam kembali benang hubungan saya dengan dunia: tante Ida.

Dia bukan sekadar kenalan. Dia adalah percakapan pertama yang tulus saya dapatkan di tengah kebisuan yang menggigilkan. Ia mendengar, tanpa menghakimi. Ia menguatkan, tanpa menggurui. Tante Ida adalah sosok perempuan yang terasa seperti rumah di tengah kota yang tak mengenal saya. Entah bagaimana kami bisa begitu cepat saling percaya. Mungkin karena kesendirian memang punya cara sendiri mempertemukan dua jiwa yang saling terluka.

Tante Ida mendengarkan keluh kesahku tentang sepi, tentang keterasingan, tentang rasa tertolak oleh kota yang belum bisa kurengkuh. Lalu, dengan caranya yang santai dan terbuka, ia mengajarkan saya melihat Banjarmasin dari sisi yang tak saya sangka: dari meja makan yang penuh tawa, dari obrolan malam yang kadang terlalu jujur, dari cerita-cerita masa lalunya yang getir, hangat, juga mengejutkan. Bahkan dari candaan yang tak lagi mengenal sekat tabu, ia bertutur tentang cinta, tubuh, dan pernikahan.

Saya ingat betul malam itu. Langit mendung, tapi hangat percakapan kami seolah mengganti bintang-bintang yang absen. Kami berbincang lama. Tentang luka-luka masa muda, tentang tanggung jawab sebagai ibu, dan juga tentang kejujuran dalam ranjang yang baginya tak boleh menjadi ruang penuh kepura-puraan. “Perempuan juga manusia,” katanya pelan, “yang butuh dipahami, bukan hanya dimiliki.”

Kata-kata itu menampar kesadaran saya sebagai laki-laki yang selama ini hanya mengenal cinta dari buku, dari film, dari puisi-puisi sunyi. Tante Ida sering berkata bahwa perempuan berhak bahagia, berhak menikmati hidup, termasuk dalam ranah yang kerap dianggap tabu: hubungan intim. Baginya, cinta bukan sekadar bunga dan kata manis, tapi juga kerja sama, rasa hormat, dan kenikmatan yang harus dibagi setara. Ia menertawakan lelaki yang hanya ingin menikmati tanpa peduli pada pasangannya, dan ia tak ragu mengatakan bahwa orgasme bukan milik satu pihak saja.

Saya hanyalah lelaki polos, belum banyak tahu tentang dunia yang dibicarakannya. Tapi ia, dengan mata yang teduh dan senyum yang sedikit getir, membuat saya menyimak dunia itu perlahan. Saya malu mengatakan bahwa saya adalah seoarang feminis. Bahkan ketika cerita itu menyentuh pada suatu peristawa sakral dan sangat privasi bagi perempuan secara umum: malam pertama pernikahan. Aku seperti membeku. Cerita itu begitu jujur, begitu telanjang, bukan karena ingin menggoda, tapi karena ingin didengar.

Tante Ida kisahkan cerita tanpa malu, namun bukan tanpa rasa. Ia menggambarkan bagaimana pengalaman pertamanya bukan tentang romantisme, tetapi tentang luka, ketakutan, dan ketidaksiapan. Ia merasa tubuhnya direnggut oleh sesuatu yang tak ia pahami, meski itu dilakukan dalam ikatan suci pernikahan. “Sakitnya dua hari tidak hilang,” katanya lirih. Saya, yang mendengarkan, merasa seperti menyaksikan sisi paling manusiawi dari seseorang perempuan.

Dari luka itu, tante Ida tumbuh. Ia belajar tentang tubuhnya, tentang haknya sebagai perempuan, dan tentang pentingnya komunikasi dalam hubungan. Ia bukan lagi perempuan yang pasrah, melainkan perempuan yang tahu apa yang ia butuhkan. Aku mendengarkannya dengan campuran rasa kagum dan bingung. Ia membuka pintu dunia yang sebelumnya asing bagiku, namun tak membuatku tersesat. Justru ia membuatku paham bahwa kedewasaan bukan hanya soal usia, tapi soal pemahaman.

Hidup memang tidak pernah sesederhana pertemuan dan kedekatan. Saya tahu batas. Tahu dia sudah bersuami. Meski, seperti senja yang tahu ia tak akan pernah menjadi malam, saya tetap menikmati kebersamaan yang singkat namun penuh arti ini. Karena, saya tahu, dalam cerita ini saya mungkin hanyalah jeda. Bukan kalimat utama. Ya, tapi jeda tetap memiliki makna dalam setiap paragraf.

Kini saya mulai mencintai Banjarmasin. Dengan segala panasnya yang menyengat dan malam-malamnya yang digerogoti nyamuk. Bukan karena kotanya berubah, tapi karena saya mulai melihatnya dengan mata yang lain. Mata yang pernah diseka air mata oleh seseorang yang tak pernah saya duga akan hadir. Terima kasih, Tante Ida. Terima kasih, Banjarmasin.


Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

Habis Dian Sastro Terbitlah Raisa.

Pulang, Karya Leila S. CHudori

Inuyasha dan Kikyo: Cinta Tak Sampai

Terimakasih, Kini Aku Pulang