Sesingkat Itu, Ceritanya


Laila masih menatap pria yang berdiri persis di sampingnya. Sebenarnya dia ingin menyapa dan membuka pembicaraan dengan pria itu barang sejenak. Hanya saja dia masih ragu-ragu dan takut pria itu tak menggubrisnya. Pria itu seolah tak peduli kalau di sampingnya ada seseorang perempuan, yang mungkin saja malu untuk menyapa duluan dan hanya pasrah menunggu disapa.

Seingatnya, Laila memang tidak mengenal pria itu. Tapi, dia merasa kalau orang itu bukan pria asing di kehidupannya. Entah di kehidupan yang mana pria itu seolah pernah menjadi orang yang sering bersamanya. Sebagai sepasang kekasih atau sekedar teman biasa, Laila mencoba mengingat sesuatu yang tampak aneh. Ketika Laila terjebak dengan pertanyaan seputar pria itu di kepalanya, tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti di depan mereka. Pria itu masuk tanpa menoleh dan pamitan kepada Laila.
****
Pertemuan berikutnya terjadi pada siang hari saat Laila menjenguk ayahnya di Rumah Sakit.

Di kantin, Laila melihatnya tengah asyik menulis surat dengan piring dan gelas kosong berserakan di mejanya. Pertanda pria itu baru makan siang. Tapi, dengan siapa pria itu makan siang? Laila tidak tahu. Kalau dia sendirian, kenapa di depannya ada dua piring dan tiga gelas? Kemana temannya atau pacarnya? Laila kembali penasaran.

Laila tidak langsung menuju kamar ayahnya saat itu. Dia sengaja memesan makanan di kantin dan duduk di kursi paling belakang. Dia begitu penasaran apakah ada seseorang yang pria itu tunggu. Seolah Laila tidak ingin melewatkan perempuan yang menemaninya makan siang hari itu. Dia ingin tahu, apakah perempuan yang bersamanya itu teman biasa atau kekasihnya.

Laila menunggu sekitar satu jam sampai makanan dan minuman yang dia pesan habis. Orang yang ditunggu belum juga tiba. Akhirnya, Laila menyerah. Dia menuju kasir dan membayar makanannya. Lalu dia pergi menuju kamar ayahnya dengan banyak pertanyaan di kepalanya.
****
Setiba di kamar ayahnya, seperti biasa, Laila menanyai keadaan ayahnya yang sudah terbaring di Rumah Sakit selama empat hari dirawat.

Belum sempat ayahnya menjawab, Laila sudah bertanya lagi di pikirannya. Menebak-menebak siapa sebenarnya pria itu? Laila tak begitu mendengarkan ayahnya menjawab. Dia sibuk dengan pertanyaan yang berhamburan di kepalanya. Suara ayahnya pun hilang ditelan bayangan pria tadi.

Kali ini Laila tak bisa menahan rasa penasarannya dan segera dia meninggalkan ayahnya tanpa pamit. Dia bergegas menemui pria itu di kantin dan akan menanyainya banyak hal. Pertanyaan yang paling penting mungkin, kenapa dia bisa masuk ke pikirannya dan menyisakan kesan kalau mereka dulu seolah sering bersama-sama?

Tapi, tak terduga, pria itu ternyata sudah pergi. Padahal, seingat Laila, baru sekitar sepuluh menit dia ada kamar ayahnya. Lagi-lagi, Laila kehilangan jejak pria itu untuk kedua kalinya. Yang pertama, saat dia ditinggal pergi naik mobil bersama temannya sebelum sempat mereka mengobrol. Itu pertemuan pertama Laila dengan pria tidak terlalu tinggi itu, anggapnya.
****
Sejak itu, Laila berniat melupakan semua tentang pria itu. Dia berpikir tidak ada gunanya mencari tahu siapa namanya. Atau, di mana dia tinggal.

Laila memilih tidak peduli dan seolah pria itu adalah pria seperti kebanyakan pria lainnya yang juga sering ditemuinya di mana saja. Bisa di parkiran mobil, di pusat pembelanjaan, di bioskop atau tempat mana saja. Dan, tentang pikiran itu, Laila mencoba tidak memedulikannya lagi. Dia ingin kembali ke rumahnya dan melupakan pria tersebut, yang beberapa hari ini membuatnya susah tidur.
****
Di lain waktu, pagi-pagi, Laila sudah siap berangkat berolahraga. Dengan pakaian olahraga serba pink dan sepatu yang baru dia beli kemarin, Laila lari-lari mengitari komplek rumahnya.

Sebelum ada empat putaran, Laila kaget setengah mati melihat pria tidak terlalu tinggi itu ada di belakangnya. Kali ini, tidak seperti biasanya, pria itu tiba-tiba muncul dan kemudian memberikan sepucuk surat pula. Entah dari mana, Laila tidak tahu. Entah apa maksud surat itu, Laila juga tidak tahu.

Tidak seperti biasanya pula, pria tidak terlalu tinggi itu yang duluan menyapa Laila, dengan ditambah senyuman juga. Entah manis atau tidak senyuman itu, hanya Laila yang tahu. Mereka pun akhirnya mengobrol tentang masa lalu mereka. Keduanya terdiam, mengingat pertemuan pertama mereka sebelum berpisah.

“Kenapa waktu itu kamu diam sangat lama dan tak juga menegurku?” Tanya Laila sambil heran.
“Aku takut. Takut kamu sudah tidak mengenalku lagi, dan bahkan sudah melupakan aku.” Jawab pria tersebut.

Laila kembali mengingat pada sisa memori kala dia masih remaja dahulu. Kala dia masih berada di kampung halamannya. Mengingat dia yang dulu, mengingat tentang pria itu yang pernah mengirimkan surat padanya, mengingat tentang kisah mereka berdua yang tak sampai terjalin kasih, dan mengingat setiap kunjungan surat pria itu padanya tanpa balasan cinta. Ya, hanya itu ingatan yang bisa Laila ingat, mengingat, memang sesingkat itu cerita mereka: Kunjungan surat cinta.

NB: Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan yang serius. Hanya sedikit.

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

HMI, Alasan Mengapa Aku Menjadi Bagian darinya

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Kecabulan Senja: Islam Tanpa Bercinta

Antara Idealisme dan Politik: Ironi Perpecahan Duo HMI