Posts

Showing posts from 2025

Sore di Kafe Karangkajen

Hujan baru saja reda di Karangkajen. Udara basah, pohon-pohon berkilauan, dan jalanan kecil masih basah memantulkan cahaya lampu jalan. Di sudut kafe kecil bercat hijau pudar itu, seorang perempuan duduk sendirian. Rambut hitamnya, kini diselingi helai-helai perak halus, dibiarkan jatuh bebas ke bahu. Di hadapannya, secangkir kopi tubruk setengah dingin dan laptop yang layarnya penuh coretan. Namanya Nidah Kirani. Ia mengenakan blouse putih sederhana dan celana kain longgar. Tidak ada make-up mencolok di wajahnya — hanya kulit yang jujur menua, dan mata yang memantulkan ribuan kisah yang tak pernah selesai. Sesekali ia menatap ke luar jendela. Memandang gerimis yang tersisa, mendengarkan suara kehidupan Yogyakarta yang terus berdenyut, seolah mengejek segala idealisme yang dulu ia peluk mati-matian. Di layar laptopnya, terbuka dokumen berjudul "Agama yang Lelah: Catatan Seorang Perempuan". Ia mengetik pelan, jari-jarinya menari dengan ragu tapi mantap: "Aku pernah percay...

Terimakasih, Kini Aku Pulang

Lis,  sudah lama, ya? Suratmu pernah kubaca di malam yang panjang, ketika hujan turun tanpa jeda, seolah ingin menemani perasaan yang entah sedang mencari apa. Aku tidak langsung membalasnya saat itu. Surat itu kusimpan rapi dalam folder kenangan yang tak sengaja kubuka saat mencari sesuatu yang lain — atau mungkin, mencari sesuatu yang pernah membuatku merasa hidup, meski hanya sesaat. Entah kenapa, aku membiarkannya diam begitu lama di sana. Tanpa balasan. Tanpa kata. Tanpa kabar. Mungkin karena waktu itu, aku sadar bahwa tidak semua hal harus dijawab saat luka masih terbuka. Tidak semua perasaan perlu dikejar saat masih tertatih oleh harapan. Tidak semua kisah pantas dilanjutkan hanya karena kita ingin akhir yang berbeda. Aku mengakui, ada hari-hari di mana suratmu terasa seperti senyum yang hangat, tapi juga menjauh. Seperti matahari musim dingin yang hanya menyinari, namun tak menghangatkan. Aku sempat membacanya setengah hati, lalu menutupnya karena tak sanggup menghada...

Aku, Banjarmasin & Tante ida

Berada di perantauan baru, di Banjarmasin, saya merasa seperti hanyut dalam arus yang tak menepi. Tak ada sahabat. Tak ada wajah yang akrab. Setiap sudut kota ini terasa asing, dingin, dan jauh. Seolah saya dan Banjarmasin adalah dua kutub yang tak pernah bisa saling mengenal, hanya saling pandang dari kejauhan tanpa kata, tanpa sambut. Seperti bayangan yang tak diinginkan, berjalan sendiri dalam kota yang sibuk dengan urusannya sendiri. Hari-hari berlalu seperti daun gugur yang tak sempat dirayakan. Saya berjalan dalam sunyi yang gemetar, membenamkan diri dalam rutinitas yang hambar. Tak ada yang menegur, tak ada yang menunggu. Di kamar kos yang sempit, dinding-dindingnya menjadi saksi bisu dari gelombang sepi yang terus mendekapku dalam sunyi. Saya mulai berbicara pada bayangan, menyapa waktu yang terasa terlalu lambat bergerak. Tak seperti kota-kota sebelumnya—Jombang, Yogyakarta, dan Pekanbaru—yang menyambut saya dengan peluk hangat dan warna-warni pengalaman, Banjarmasin seaka...