Posts

Showing posts from August, 2025

Berteman dengan Kesepian

Kesepian itu tidak datang tiba-tiba, kawan. Ia memang tidak mengetuk pintu, tidak membawa kabar. Tapi, ia menyelinap, perlahan, tanpa suara, melalui celah hari-hari biasa. Ia datang saat suara orang-orang mulai meredup, saat percakapan hanya tinggal formalitas, saat malam tiba dan yang tersisa hanya kamu—dengan pikiranmu sendiri. Dulu aku takut kesepian. Kukira itu tanda bahwa aku gagal membangun hubungan, gagal menjadi bagian dari dunia. Aku mencari cara untuk mengusirnya—dengan keramaian, dengan tawa yang dipaksakan, dengan layar-layar kecil yang selalu aktif. Tapi semua itu hanya menunda. Saat semuanya diam, kesepian kembali. Dan aku tetap sendirian, bahkan dalam kerumunan. Lama-lama aku lelah melawan. Maka aku belajar duduk bersamanya. Bukan menyerah, tapi mencoba mengenalnya. Seperti kau mencoba memahami seseorang yang awalnya asing, lalu perlahan kau sadari: ia tidak jahat, hanya tak terbiasa dimengerti. Rupanya kesepian tidak selalu menyakitkan. Kadang, ia hanya sunyi yang ju...

Prahara Engineer Bangkalan: Sudah Cinta Mati Kampung, Eh Dibalas dengan Pengangguran

Suatu siang, saat sedang mengajar, ponselku berdering. Nomor lama. Teman lama. Hampir setengah tahun kami tak bertegur sapa. Naluri bilang, ini bukan sekadar “eh kabar gimana bro?” Betul saja. Telepon itu bukan salam pertemanan, melainkan keluhan berdurasi 11 menit 23 detik. Sejenis ratapan eksistensial ala Zainuddin yang baru tahu bahwa Hayati sudah menikah. Temanku ini engineer. Insinyur, kalau pakai diksi Orde Baru. Gagah. Bergelar. Bersertifikat. Eh, sayang, Bangkalan menatapnya dengan mata kosong —seperti dia bukan siapa-siapa. Dia baru  resign  pekerjaan mapan dari rantau, dari tanah Malin Kundang. Alasannya mulia: ingin dekat keluarga, berbakti kepada kampung halaman. Tapi harapannya bertepuk sebelah tangan. Lowongan kerja? Nihil. Yang ada malah beban baru di pundak keluarga. “Kulo mboten niki-ningi, mas,” katanya sambil nyengir getir. Keluhan seperti ini bukan barang baru. Apalagi bagi kami, alumni jurusan Teknik dan turunannya, yang mencoba pulang kampung dengan harap...

Dalam Sunyi, Ada Eksistensi

Terkadang ada hal yang ingin kita sampaikan bukan untuk dijawab, tapi sekadar supaya ada yang tahu bahwa kita masih ada. Malam ini aku menulis kepadamu, kawan, setelah sekian lama tak kukirimkan kabar, bukan karena aku tahu kau akan mengerti sepenuhnya, tapi karena aku merasa —dalam caramu melihat dunia ini— ada ruang kecil yang bisa kutitipi sunyi ini. Aku tinggal di kota yang bahkan belum bisa kusebut “kota” dengan sebuah rasa. Di sini aku berjalan tanpa arah yang pasti selain ke tempat kerja dan kembali ke kosan yang seperti cangkang: melindungi, tapi juga membatasi. Tak ada kawan bermain atau berdebat, tak ada famili untuk sekadar bicara tentang cuaca atau tentang bagaimana hari ini begitu panjang meski jam tetap berdetak sama. Kau tahu, kawan, rupanya, dalam sebulan ini, aku menemukan bahwa ada sejenis kesepian yang tak riuh. Ia tidak berteriak, tidak menangis, tidak mengganggu, tapi diam-diam menyerap semuanya. Menyusup ke sela detik, ke jeda napas, ke bayangan lampu jalanan ...