Posts

Berteman dengan Kesepian

Kesepian itu tidak datang tiba-tiba, kawan. Ia memang tidak mengetuk pintu, tidak membawa kabar. Tapi, ia menyelinap, perlahan, tanpa suara, melalui celah hari-hari biasa. Ia datang saat suara orang-orang mulai meredup, saat percakapan hanya tinggal formalitas, saat malam tiba dan yang tersisa hanya kamu—dengan pikiranmu sendiri. Dulu aku takut kesepian. Kukira itu tanda bahwa aku gagal membangun hubungan, gagal menjadi bagian dari dunia. Aku mencari cara untuk mengusirnya—dengan keramaian, dengan tawa yang dipaksakan, dengan layar-layar kecil yang selalu aktif. Tapi semua itu hanya menunda. Saat semuanya diam, kesepian kembali. Dan aku tetap sendirian, bahkan dalam kerumunan. Lama-lama aku lelah melawan. Maka aku belajar duduk bersamanya. Bukan menyerah, tapi mencoba mengenalnya. Seperti kau mencoba memahami seseorang yang awalnya asing, lalu perlahan kau sadari: ia tidak jahat, hanya tak terbiasa dimengerti. Rupanya kesepian tidak selalu menyakitkan. Kadang, ia hanya sunyi yang ju...

Prahara Engineer Bangkalan: Sudah Cinta Mati Kampung, Eh Dibalas dengan Pengangguran

Suatu siang, saat sedang mengajar, ponselku berdering. Nomor lama. Teman lama. Hampir setengah tahun kami tak bertegur sapa. Naluri bilang, ini bukan sekadar “eh kabar gimana bro?” Betul saja. Telepon itu bukan salam pertemanan, melainkan keluhan berdurasi 11 menit 23 detik. Sejenis ratapan eksistensial ala Zainuddin yang baru tahu bahwa Hayati sudah menikah. Temanku ini engineer. Insinyur, kalau pakai diksi Orde Baru. Gagah. Bergelar. Bersertifikat. Eh, sayang, Bangkalan menatapnya dengan mata kosong —seperti dia bukan siapa-siapa. Dia baru  resign  pekerjaan mapan dari rantau, dari tanah Malin Kundang. Alasannya mulia: ingin dekat keluarga, berbakti kepada kampung halaman. Tapi harapannya bertepuk sebelah tangan. Lowongan kerja? Nihil. Yang ada malah beban baru di pundak keluarga. “Kulo mboten niki-ningi, mas,” katanya sambil nyengir getir. Keluhan seperti ini bukan barang baru. Apalagi bagi kami, alumni jurusan Teknik dan turunannya, yang mencoba pulang kampung dengan harap...

Dalam Sunyi, Ada Eksistensi

Terkadang ada hal yang ingin kita sampaikan bukan untuk dijawab, tapi sekadar supaya ada yang tahu bahwa kita masih ada. Malam ini aku menulis kepadamu, kawan, setelah sekian lama tak kukirimkan kabar, bukan karena aku tahu kau akan mengerti sepenuhnya, tapi karena aku merasa —dalam caramu melihat dunia ini— ada ruang kecil yang bisa kutitipi sunyi ini. Aku tinggal di kota yang bahkan belum bisa kusebut “kota” dengan sebuah rasa. Di sini aku berjalan tanpa arah yang pasti selain ke tempat kerja dan kembali ke kosan yang seperti cangkang: melindungi, tapi juga membatasi. Tak ada kawan bermain atau berdebat, tak ada famili untuk sekadar bicara tentang cuaca atau tentang bagaimana hari ini begitu panjang meski jam tetap berdetak sama. Kau tahu, kawan, rupanya, dalam sebulan ini, aku menemukan bahwa ada sejenis kesepian yang tak riuh. Ia tidak berteriak, tidak menangis, tidak mengganggu, tapi diam-diam menyerap semuanya. Menyusup ke sela detik, ke jeda napas, ke bayangan lampu jalanan ...

Saru Paragaraf: Warna

Hujan. Jalanan basah. Langit menampakkan wajah muram tanpa sebuah salam hangat. Gerombolan manusia yang berjalan membawa kesedihan dan kebahagiannya masing-masing. Perasaan yang kadang hanya bisa diterka dari raut wajah, ekspresi atau tingkah laku. Bagaimanapun hujan membuat hari ini dingin dan melelahkan. Satu kesibukan datang dengan begitu kejam dan menyedot habis seluruh perhatianku hingga tidak lagi memiliki kesempatan untuk mendatangkan pikiran tidak penting seperti biasanya. Arah jarum jam seolah bergerak tergesa-gesa. Seperti tidak ingin bersahabat denganku dengan sedikit saja memberikan jeda untuk bermalas-malasan barang sejenak. Eh, aku salah. Mengejar sesuatu rupanya membuat satu detik menuju 60 menit menjadi begitu lambat. Seperti hari ini, di mana aku terjebak dalam pusaran waktu yang memaksaku mencintai kenyataan. Tentang hari jum’at dengan hujannya yang deras, dan tentang hari jum’at yang tak mampu menghadirkan ruang untukku memperhatikan banyak hal, termasuk warna. Hingg...

Terimakasih, Kini Aku Pulang

Lis, sudah lama, ya? Suratmu pernah kubaca di malam yang panjang, ketika hujan turun tanpa jeda, seolah ingin menemani perasaan yang entah sedang mencari apa. Aku tidak langsung membalasnya saat itu. Surat itu kusimpan rapi dalam folder kenangan yang tak sengaja kubuka saat mencari sesuatu yang lain —atau mungkin, mencari sesuatu yang pernah membuatku merasa hidup, meski hanya sesaat. Entah kenapa aku membiarkannya diam begitu lama di sana; tanpa balasan, tanpa kata, dan tanpa kabar. Mungkin karena waktu itu aku sadar bahwa tidak semua hal harus dijawab saat luka masih terbuka. Tidak semua perasaan perlu dikejar saat masih tertatih oleh harapan. Tidak semua kisah pantas dilanjutkan kembali karena pada akhirnya kita menginginkan akhir yang berbeda. Aku mengakui, ada hari-hari di mana suratmu terasa seperti senyum yang hangat, seperti dulu, tapi kini terasa perlahan menjauh. Seperti matahari musim dingin yang hanya menyinari, namun tak menghangatkan. Aku sempat membacanya setengah hat...

Laron

 “Kapan kau terakhir menyesal?”  Ia bertanya dengan wajah yang begitu tenang, seakan-akan kematian masih teramat jauh dari lehernya. “Ada banyak berkah yang tak ku syukuri, banyak kesia-siaan yang kutelan. Mungkin, bisa jadi, salah satunya adalah kau. Tapi tak pernah kubiarkan rasa sesal menggagahiku. Penyesalan hanya membuat usia akan makin terasa pendek. Hidup terlalu pendek untuk dibebani sederet penyesalan!” Itu jawabku.  Dia menghela nafas. Kali ini lebih berat dari sebelum-sebelumnya. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Aku lebih memilih menatap wajahnya yang terasa makin tirus. Ada satu rahasia yang makin tak mampu ku raba. Jalanan makin gelap, juga sepi, mungkin seperti hidupnya. “Kita ini seperti laron. Satu waktu kau yang menjadi api dan aku yang menjadi laron. Lain kali aku yang menjadi api dan kau yang menjadi laron.” Aku tak memotongnya. Kubiarkan ia mengeluarkan semua yang ingin dikatakan. Ada satu perasaan yang muncul diam-diam: sebaiknya kubiarkan ia bica...

28 Oktober 2023

Pada akhirnya saya tahu letak kelemahan yang saya miliki. Ternyata saya masih hidup dalam dunia di mana putih adalah putih dan hitam adalah hitam. Saya masih saja menafikkan bahwa ada abu-abu di antara kedua warna tersebut. Akibatnya saya selalu saja menjadi korban atau tumbal orang lain. Atau dengan kata lain, saya masih terjebak dalam ruang idealisme –jika polos atau bodoh tidak mau saya akui. Kehidupan dunia proyek tidak semudah apa yang saya pelajari dalam ruang kuliah. Ternyata dunia proyek bukan soal perencanaan dan pengestimasian resiko semata, tapi penuh dengan intrik, saling sikut, cari aman dan cari muka. Selain itu apa yang dulu saya yakini bahwa pengalaman bukanlah tonggak utama membentuk diri ternyata keliru besar. Walaupun pada satu titik saya masih tetap saja menyakini bahwa pengalaman bukanlah guru terbaik. Rasionalisme adalah segalanya. Ya, lagi-lagi saya masih apologi.