Sore di Kafe Karangkajen
Hujan baru saja reda di Karangkajen. Udara basah, pohon-pohon berkilauan, dan jalanan kecil masih basah memantulkan cahaya lampu jalan. Di sudut kafe kecil bercat hijau pudar itu, seorang perempuan duduk sendirian. Rambut hitamnya, kini diselingi helai-helai perak halus, dibiarkan jatuh bebas ke bahu. Di hadapannya, secangkir kopi tubruk setengah dingin dan laptop yang layarnya penuh coretan. Namanya Nidah Kirani. Ia mengenakan blouse putih sederhana dan celana kain longgar. Tidak ada make-up mencolok di wajahnya — hanya kulit yang jujur menua, dan mata yang memantulkan ribuan kisah yang tak pernah selesai. Sesekali ia menatap ke luar jendela. Memandang gerimis yang tersisa, mendengarkan suara kehidupan Yogyakarta yang terus berdenyut, seolah mengejek segala idealisme yang dulu ia peluk mati-matian. Di layar laptopnya, terbuka dokumen berjudul "Agama yang Lelah: Catatan Seorang Perempuan". Ia mengetik pelan, jari-jarinya menari dengan ragu tapi mantap: "Aku pernah percay...