Posts

Sore di Kafe Karangkajen

Hujan baru saja reda di Karangkajen. Udara basah, pohon-pohon berkilauan, dan jalanan kecil masih basah memantulkan cahaya lampu jalan. Di sudut kafe kecil bercat hijau pudar itu, seorang perempuan duduk sendirian. Rambut hitamnya, kini diselingi helai-helai perak halus, dibiarkan jatuh bebas ke bahu. Di hadapannya, secangkir kopi tubruk setengah dingin dan laptop yang layarnya penuh coretan. Namanya Nidah Kirani. Ia mengenakan blouse putih sederhana dan celana kain longgar. Tidak ada make-up mencolok di wajahnya — hanya kulit yang jujur menua, dan mata yang memantulkan ribuan kisah yang tak pernah selesai. Sesekali ia menatap ke luar jendela. Memandang gerimis yang tersisa, mendengarkan suara kehidupan Yogyakarta yang terus berdenyut, seolah mengejek segala idealisme yang dulu ia peluk mati-matian. Di layar laptopnya, terbuka dokumen berjudul "Agama yang Lelah: Catatan Seorang Perempuan". Ia mengetik pelan, jari-jarinya menari dengan ragu tapi mantap: "Aku pernah percay...

Terimakasih, Kini Aku Pulang

Lis,  sudah lama, ya? Suratmu pernah kubaca di malam yang panjang, ketika hujan turun tanpa jeda, seolah ingin menemani perasaan yang entah sedang mencari apa. Aku tidak langsung membalasnya saat itu. Surat itu kusimpan rapi dalam folder kenangan yang tak sengaja kubuka saat mencari sesuatu yang lain — atau mungkin, mencari sesuatu yang pernah membuatku merasa hidup, meski hanya sesaat. Entah kenapa, aku membiarkannya diam begitu lama di sana. Tanpa balasan. Tanpa kata. Tanpa kabar. Mungkin karena waktu itu, aku sadar bahwa tidak semua hal harus dijawab saat luka masih terbuka. Tidak semua perasaan perlu dikejar saat masih tertatih oleh harapan. Tidak semua kisah pantas dilanjutkan hanya karena kita ingin akhir yang berbeda. Aku mengakui, ada hari-hari di mana suratmu terasa seperti senyum yang hangat, tapi juga menjauh. Seperti matahari musim dingin yang hanya menyinari, namun tak menghangatkan. Aku sempat membacanya setengah hati, lalu menutupnya karena tak sanggup menghada...

Aku, Banjarmasin & Tante ida

Berada di perantauan baru, di Banjarmasin, saya merasa seperti hanyut dalam arus yang tak menepi. Tak ada sahabat. Tak ada wajah yang akrab. Setiap sudut kota ini terasa asing, dingin, dan jauh. Seolah saya dan Banjarmasin adalah dua kutub yang tak pernah bisa saling mengenal, hanya saling pandang dari kejauhan tanpa kata, tanpa sambut. Seperti bayangan yang tak diinginkan, berjalan sendiri dalam kota yang sibuk dengan urusannya sendiri. Hari-hari berlalu seperti daun gugur yang tak sempat dirayakan. Saya berjalan dalam sunyi yang gemetar, membenamkan diri dalam rutinitas yang hambar. Tak ada yang menegur, tak ada yang menunggu. Di kamar kos yang sempit, dinding-dindingnya menjadi saksi bisu dari gelombang sepi yang terus mendekapku dalam sunyi. Saya mulai berbicara pada bayangan, menyapa waktu yang terasa terlalu lambat bergerak. Tak seperti kota-kota sebelumnya—Jombang, Yogyakarta, dan Pekanbaru—yang menyambut saya dengan peluk hangat dan warna-warni pengalaman, Banjarmasin seaka...

Saru Paragaraf: Warna

Hujan. Jalanan basah. Langit menampakkan wajah muram tanpa sebuah salam hangat. Gerombolan manusia yang berjalan membawa kesedihan dan kebahagiannya masing-masing. Perasaan yang kadang hanya bisa diterka dari raut wajah, ekspresi atau tingkah laku. Bagaimanapun hujan membuat hari ini dingin dan melelahkan. Satu kesibukan datang dengan begitu kejam dan menyedot habis seluruh perhatianku hingga tidak lagi memiliki kesempatan untuk mendatangkan pikiran tidak penting seperti biasanya. Arah jarum jam seolah bergerak tergesa-gesa. Seperti tidak ingin bersahabat denganku dengan sedikit saja memberikan jeda untuk bermalas-malasan barang sejenak. Eh, aku salah. Mengejar sesuatu rupanya membuat satu detik menuju 60 menit menjadi begitu lambat. Seperti hari ini, di mana aku terjebak dalam pusaran waktu yang memaksaku mencintai kenyataan. Tentang hari jum’at dengan hujannya yang deras, dan tentang hari jum’at yang tak mampu menghadirkan ruang untukku memperhatikan banyak hal, termasuk warna. Hingg...

Laron

 “Kapan kau terakhir menyesal?”  Ia bertanya dengan wajah yang begitu tenang, seakan-akan kematian masih teramat jauh dari lehernya. “Ada banyak berkah yang tak ku syukuri, banyak kesia-siaan yang kutelan. Mungkin, bisa jadi, salah satunya adalah kau. Tapi tak pernah kubiarkan rasa sesal menggagahiku. Penyesalan hanya membuat usia akan makin terasa pendek. Hidup terlalu pendek untuk dibebani sederet penyesalan!” Itu jawabku.  Dia menghela nafas. Kali ini lebih berat dari sebelum-sebelumnya. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Aku lebih memilih menatap wajahnya yang terasa makin tirus. Ada satu rahasia yang makin tak mampu ku raba. Jalanan makin gelap, juga sepi, mungkin seperti hidupnya. “Kita ini seperti laron. Satu waktu kau yang menjadi api dan aku yang menjadi laron. Lain kali aku yang menjadi api dan kau yang menjadi laron.” Aku tak memotongnya. Kubiarkan ia mengeluarkan semua yang ingin dikatakan. Ada satu perasaan yang muncul diam-diam: sebaiknya kubiarkan ia bica...

28 Oktober 2023

Pada akhirnya saya tahu letak kelemahan yang saya miliki. Ternyata saya masih hidup dalam dunia di mana putih adalah putih dan hitam adalah hitam. Saya masih saja menafikkan bahwa ada abu-abu di antara kedua warna tersebut. Akibatnya saya selalu saja menjadi korban atau tumbal orang lain. Atau dengan kata lain, saya masih terjebak dalam ruang idealisme –jika polos atau bodoh tidak mau saya akui. Kehidupan dunia proyek tidak semudah apa yang saya pelajari dalam ruang kuliah. Ternyata dunia proyek bukan soal perencanaan dan pengestimasian resiko semata, tapi penuh dengan intrik, saling sikut, cari aman dan cari muka. Selain itu apa yang dulu saya yakini bahwa pengalaman bukanlah tonggak utama membentuk diri ternyata keliru besar. Walaupun pada satu titik saya masih tetap saja menyakini bahwa pengalaman bukanlah guru terbaik. Rasionalisme adalah segalanya. Ya, lagi-lagi saya masih apologi.

Sebut Saja Namanya L

Sebut saja temanku ini L. Dalam kamar L menghadap cermin dan memandang diri sendiri. Memperhatikan dan memastikan bahwa dia masih sama. Seperti pada usia ke 23 tahun lalu ketika membuat keputusan besar: berkomitmen tidak menikah. Sejenak lalu, kerut keningnya menegang, seolah meneropong suatu masa. Kini, pada usia yang menjajaki angka ke 30 tahun, saat kami dipertemukan dalam satu janji, tepat setelah beranjak dari hadapan cermin, ketegangan pada kerut keningnya hilang, senyum sumringah begitu tegas tersimpul. Rona merah terpancar. L bahagia. Alih-alih bertanya aku memilih diam, termenung, meresapi dan coba memahami pilihan hidupnya itu. Dari dulu sampai saat ini. Sebab aku tahu pilihan itu berbuntut problematis dan menuntut konsekuensi logis daripada psikologis semata. Kita mahfum betul itu. Tuduhan traumatis selalu dilekatkan kepadanya. Alih-alih memahami dan mencerna berbagai argumen yang dia dasarkan sebagai dalil tidak menikah. Kubilang ini problematis. Tricky . Alias pelik. Da...