Ngobrol Enak: Aktivis Tuna Asmara Bersabda

Tuhan memang menciptakan segala sesuatunya secara berpasangan, katanya. Ada siang ada malam. Ada terik ada hujan. Ada Yin ada Yang. Ada bawah ada atas. Ada barat ada timur. Ada utara ada selatan. Ada pria ada wanita. Ada saya ada kamu, iya kamu–cie-cie. Dan ada-ada yang lainnya secara berpasangan, tetapi tidak pada mereka.

Jangan panggil kami jomblo. Jomblo terdengar begitu kasar dan berstigma hina. Kata jomblo seolah mengindikasikan bahwa kami tidak punya prinsip terhadap pilihan jalan yang kami tempuh. Panggil kami aktivis Tuna Asmara.” Jawabnya ketika kami lagi ngobrol enak di Sekretariat HMI Komisariat FTI UII.

Semua orang memang memiliki jalannya masing-masing dalam mengarui kehidupannya. Ada orang yang punya pasangan kemudian berpujangga ria dengan kemelowan yang dihadapinya. Ada pula orang yang mengesampingkan hatinya demi melihat persoalan lain, seperti mereka menempuh jalan sunyi dan intelektual: Aktivis Tuna Asmara.

Jikalau kita tinjau secara seksama dan bijak, tidak ada salahnya juga mereka mengemukakan demikian. Hidup ini adalah persoalan prinsip. Mengesamping hati bukanlah lantas mereka adalah manusia hina yang bercover jomblo, tidak. “Ciee, enggak punya pasangan. Truk aja gandengan, masak kamu enggak? Penilaian seperti ini juga tidak pantas dilekatkan pada mereka. Jomblo dan Tuna Asmara memiliki artian lain dalam perihal nasib yang mereka tempuh. Tidak sama.

Kalau kita menengok perjalanan sejarah bangsa kita tanpa kita sadari kelahiran bangsa yang mencapai kemerdekakan pada tahun 1945 ini, juga diikut sertakan oleh pergerakan para pahlawan-pahlawan Nasional yang mengesampingkan persoalan hatinya. Tan Malaka dan Moh. Hatta contohnya.

Si penulis “Materilisme Dialektika dan Logika: Madilog”: Buku yang begitu rumit dan digadang-gadang sejajar dengan para pemikir filsafat barat W.S Hegel dan Karl Marx , atau buku “Menuju Republik Indonesia” yang dijadikan rujukan oleh Soekarno untuk menulis “Indonesia Menggugat” dan membuat W.R Suprtaman terispirasi untuk menuaikannya dalam sebuah lagu “Indonesia Raya” itu, lahir dari tangan orang yang sampai wafatnya tidak punya kekasih. Tan Malaka nama orang itu.

Perjalanan cinta yang dibangun oleh Tan Malaka memang bisa dikatakan tragis. Bukan lantas karena Tan Malaka persoalan tragis itu kita menganggap bahwa Tan Malaka adalah laki-laki jomblo, tidak. Suatu ketika, Adam Malik, Presiden RI ke 3, dalam buku yang berjudul “Mengabdi Kepada Republik, bertanya kepada Tan Malaka: “Apa Bung pernah jatuh cinta?

Mendapat pertanyaan dari Adam Malik, Tan Malaka pun menjawabnya: “Pernah. Tiga kali malahan. Sekali di Belanda. Sekali di Filipina dan sekali lagi di Indonesia. Tapi semuanya itu katakanlah hanya cinta yang tidak sampai, karena perhatian saya terlalu besar untuk perjuangan Indonesia." Jawab Tan Malaka.

Dalam buku “Tan Malaka: Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah” Tan Malaka pernah jatuh cinta kepada satu-satunya siswi perempuan di sekolahnya: Syarifah Nawawi, tetapi cinta itu bertepuk sebelah tangan. Syarifah akhirnya menikah dengan R.A.A. Wiranatakoesoema, Bupati Cianjur. Tan Malaka juga pernah memiliki kedekatan dengan Paramitha 'Jo' Abdurrachman pasca Proklamasi Kemerdekaan RI, meski pada akhirnya menuao ending yang sama. Hingga akhir hayatnya-pun, Tan Malaka tidak pernah menikah

Meskipun dalam perjalaan cintanya Tan Malaka selalu menuai kegagalan ketika hendak memadu kasih dengan wanita yang idam-idamkannya, seperti dengan wanita yang ada di Belanda, di Filipina, dan di Indonesia, maka dengan begitu songongnya kita melabelkan kata jomblo kepada Tan Malaka lantaran tidak punya kekasih?

Tidak, pelabelan kata Jomblo tidak pantas dilekat kepada Tan Malaka. Bukan lantaran wanita yang dicintai Tan Malaka itu tidak menerima cintanya atau menolak dipinangnya, melainkan perhatian Tan Malaka terhadap perjuangan Indonesia terlalu besar. Kecintaan Tan Malaka terhadap anti kolonialisme yang menjajah bangsa Indonesia kala itu jauh lebih besar daripada wanita, sehingga Tan Malaka mengesamping persoalan hatinya dengan melihat perihal lain.

Sama seperti halnya kecintaannya Tan Malaka terhadap anti kolonialisme ternyata jauh lebih besar daripada wanita, Moh. Hatta selaku wakil presiden pertama pun juga berprinsip demikian.

Sebagai Dwitunggal bersama Bung Karno, pilihan jalan hidup Bung Hatta ternyata cenderung sangat berbeda dengan Bung Karno ketika memperjuangkan kemerdekaan untuk Indonesia. Ketika Bung Karno sejak remaja kita tahu bahwa ia dikenal sebagai pengagum keindahan wanita yang sampai kemudian menikahi wanita sampai 9 kali, Bung Hatta malah bersumpah untuk tidak menikah sebelum bangsa ini merdeka.

Pernah ada cerita bahwa teman-teman Hatta menyuruh seorang perempuan Polandia menggodanya ketika dia tinggal di Belanda. Alhasil ketika kencannya selesai, si perempuan cuma bisa bilang: “Temanmu tidak bisa digoda.”  Bapak satu ini teguh banget prinsipnya.

Tentu sebelum Bung Hatta menikahi Ibu Rahmi yang ketika itu usia Bung Hatta sudah menginjak 43 tahun, kita tidak bisa menyebut Bung Hatta adalah seorang jomblo lantaran tidak pernah punya kisah cinta terhadap satu perempuan-pun. Karena dibalik kedataran perjalanan cinta Bung Hatta yang sangat bertolak berlakang dengan keseriusannya hendak mengusir para penjajah terhadap bangsa ini, adalah bentuk prinsipnya untuk mengabdikan dirinya pada jalan intelektual: Bersumpah tidak menikah sebelum Indonesia merdeka. Dan pilihan prinsip ini bukan pilihan nasib para jomblo.

Atau kita tengok si pembaru pemikir Islam dari HMI, Ahmad Wahib, dalam buku catatan hariannya “Pergolokan Pemikiran Islam”, serta sang demonstran yang menjatuhkan rezim orde lama, Soe Hok Gie. Dua pemuda yang sama-sama mati di usia muda itu merupakan protetipe manusia-manusia skeptis yang hingga diakhir hayatnya selalu terdera ketunaan asmara. Bukan lantaran mereka tidak punya kisah asmara, tetapi dua pemuda ini merelakan dan menghilangkan buaian asmaranya demi pembaharuan pemikiran Islam dan perubahaan pada negeri ini. “Lebih baik diasingkan daripada diam tidak jomblo

Jadi jalan ketuna-asmaraan yang kami tempuh merupakan pilihan prinsip kami untuk mengabdian diri terhadap jalan intelektual.” Tangkasnya, yang dilanjutkan bahwa: “Pengabdian dimana kami ingin memposisikan diri terhadap pembaharuan dan perubahan pada negeri ini, yang mana sampai saat ini pemuda dan pemudi di negeri ini malah asik terbuai oleh gairah asmara, hingga kemudian tidak kunjung sadar betapa pentingnya kehadiran mereka terhadap tujuan bangsa ini.

Kami memang tuna asmara yang meninggalkan kisah remaja kami dari ketiadaan seorang pendamping dan sandaran hati. Tetapi jalan sunyi yang kami ambil bukanlah menjadi tenunan kehampaan dan kekosongan hati. Sekali lagi ini adalah pilihan prinsip, sedangkan untuk para jomblo adalah pilihan nasib.” Sambungnya dari salah satu dari aktivis Tuna Asmara untuk menutup-tutaskan ngobrol enak di Sekretariat HMI Komisariat FTI UII.

Demikianlah sabda dari jalan pilihan prinsip yang ditempuh oleh Aktivis tuna Asmara. Jikalau para jomblo masih saja bersitegang bahwa jomblo itu bukan nasib melainkan prinsip, dan karena Tuhan saja tidak punya kekasih atau jomblo, maka suruhlah para jomblo itu untuk jadi Tuhan. Dan saran saya cuma satu: “Belajarlah berenang, karena Fir’aun mati tenggalam.” Itupun Fir’aun masih punya kekasih. Itu saja, titik.

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

HMI, Alasan Mengapa Aku Menjadi Bagian darinya

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Satu Paragraf: Wanita dalam Dekapan Imajinasi

Pulang, Karya Leila S. CHudori