Sore di Kafe Karangkajen

Hujan baru saja reda di Karangkajen. Udara basah, pohon-pohon berkilauan, dan jalanan kecil masih basah memantulkan cahaya lampu jalan.

Di sudut kafe kecil bercat hijau pudar itu, seorang perempuan duduk sendirian. Rambut hitamnya, kini diselingi helai-helai perak halus, dibiarkan jatuh bebas ke bahu. Di hadapannya, secangkir kopi tubruk setengah dingin dan laptop yang layarnya penuh coretan.

Namanya Nidah Kirani.

Ia mengenakan blouse putih sederhana dan celana kain longgar. Tidak ada make-up mencolok di wajahnya — hanya kulit yang jujur menua, dan mata yang memantulkan ribuan kisah yang tak pernah selesai.

Sesekali ia menatap ke luar jendela. Memandang gerimis yang tersisa, mendengarkan suara kehidupan Yogyakarta yang terus berdenyut, seolah mengejek segala idealisme yang dulu ia peluk mati-matian.

Di layar laptopnya, terbuka dokumen berjudul "Agama yang Lelah: Catatan Seorang Perempuan". Ia mengetik pelan, jari-jarinya menari dengan ragu tapi mantap:

"Aku pernah percaya bahwa Tuhan adalah tiket masuk ke surga. Lalu aku tahu, Tuhan adalah tiket masuk ke luka. Hari ini, aku hanya ingin Tuhan menjadi teman yang tidak lagi kutakuti."

Nidah berhenti sejenak. Ia menyesap kopinya. Senyum kecil — pahit dan manis — melintas di bibirnya. Senyum seorang perempuan yang sudah menempuh perjalanan panjang: dari surga impian, ke neraka kenyataan, lalu membangun rumah kecil di tengah reruntuhan.

Hari hampir gelap. Karangkajen tetap hidup, seperti dulu, seperti kini. Dan di sudut kecilnya, Nidah Kirani terus menulis — bukan lagi untuk mengubah dunia, tapi untuk menyembuhkan dirinya sendiri.


(SELESAI)

 

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

Habis Dian Sastro Terbitlah Raisa.

Pulang, Karya Leila S. CHudori

Inuyasha dan Kikyo: Cinta Tak Sampai

Terimakasih, Kini Aku Pulang