Hijrah: Surga Allah (Tidak) Mudah

Sebagai perempuan yang tak jauh berbeda dari perempuan lainnya, bisa dikata, aku melihat dunia ini juga tak jauh berbeda dengan perempuan-perempuan lainnya. Yakni, apa adanya dan mengalir saja serupa irama air yang mengalir. Meski, pada sisi lain, aku punya satu impian yang bisa dikata agak cenderung berbeda dengan perempuan-perempuan lainnya. Terutama dengan perempuan di kampung halaman sendiri. Sejenis emansipasi atau feminisme. Impian punya karir cemerlang dimasa tua, dan menuntut pada diri harus punya pendidikan tinggi. Hingga ke luar negeri.

Aku lahir di sebuah pulau terpencil, di kabupaten Bengkalis, Riau. Pulau tersebut memang teramat asing bagi kalain yang mendengar. Wilayah Bengkalis sendiri mencakup pulau Sumatera dan wilayah kepulauan lainnya. Nah, wilayah kepulauan lainnya itulah tempat kelahiranku. Pulau Rupat namanya. Berbatasan dengan selat Melaka di sebelah timur dan dengan kota Dumai pada bagian selatan dan barat, di utara berbatasan dengan Rupat Utara. Kalau di peta dunia, pulau Rupat hanya digambar dalam sebuah titik. Iya, hanya titik saja, karena pulau kelahiranku terbilang kecil. Hanya memiliki luas 1.500 Km2.

Bahkan, untuk menjelaskan dan membuktikan keberadaan pulau kelahiranku biasanya aku harus mengahabiskan waktu kurang lebih se-jam penuh. Itupun kalau mereka yang mendengarkannya bisa mempercayai dari penjelasanku, dan tidaklah jarang dari mereka yang mendengarkan penjelasanku, sebagai pembuktian dari kebenaran (keberadaan) pulau kelahiranku itu malah bilang “Itu pulau atau tahi lalat? Kok kecil banget?”, ketika aku menunjuk sketsa pulau Rupat di sebuah peta. Dari alasan inilah yang menjadi landasaku untuk tidak menjelaskan tempat kelahiranku secara rinci. Sorry.

Sama seperti halnya perempuan remaja lainnya pula yang punya mimpi melangit. Selepas menyelesaikan pendidikan di menengah atas, SMA, aku memutuskan merantau ke kota pendidikan Yogyakarta. Di universitas swasta tertua. Keputusan merantau ini aku ambil sebagai langkah awal mengejar impianku dalam berkarir dan juga, sebagai stimulus untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Juga dari kota ini pula-lah semua impian-impianku sebelumnya aku kubur dan proses Hijrahku bermulai.

Kesadaran untuk memutuskan untuk berhijrah itu bermula pada pengawal tahun 2016. Di persimpangan jalan setapak yang memisahkan dua jalan pilihan, dan membuatku berfikir ulang dalam mengambil sebuah pilihan. Apakah memilih dunia sebagai pilihan impian karir yang selama ini aku kejar. Ataukah, pilihan akhirat sebagai satu isyarat bahwa kehidupan di dunia yang aku jalani ini hanyalah sementara dan tidaklah kekal. Akhirnya dilema. Begitulah pengawal kesadaran itu bermula.

Waktu itu juga, dipengawal tahun 2016. Selain berkesibukan menyelesaikan pendidikan kuliah tingkat akhir (skripsi) dan beraktivitas sebagai pengurus organisasi yang telah aku pilih, aku sedang kasmaran. Bisa dibilang lagi dekat-dekatnya dengan seorang laki-laki. Kekasih atau berpacaran. Bahkan sampai beberapa kali sempat jalan bareng dengannya.

Pada sebuah dilema, aku sadar bahwa apa yang aku lakukan dalam hubungan itu tidaklah benar. Tapi, hati tetap mengeyel dan tidak pernah menyatakan kata mufakat pada akal yang selalu memberikan peringatan. Padahal sudah berkali-kali akal memberikan pengertian, bahwa apa yang kami lakukan dalam berpacaran itu jelas-jelas diharamkan oleh peringatan agama. Karena nantinya akan berkecenderungan masuk ke lumbung maksiat.

Qudratullah. Mungkin begitulah kata yang pas untuk mendekripsikan pada pengambilan keputusanku (pilihan Hijrah) dalam dilemaku tersebut. Berkat kuasa-Nya, Allah mengirim seorang yang menjadi perantara hidayah-Nya. Seorang sahabat yang telah lama aku kenal sejak SMA datang memberikan pencerahan pada kebimbanganku. Karena dia sudah lebih dahulu Hijrah, dia mengajakku untuk bersama-sama memperbaiki diri, move on dari masa lalu yang lebih banyak memikirkan urusan dunia. Sedangkan urusan akhirat hanya alakadarnya.

Bisa dibilang dia-lah, sahabatku, orang yang memberikan kesadaran padaku tentang betapa pentingnya urusan akhirat. Dia pula-lah yang menjadi orang pertama mendukungku mengambil jalan Hijrah. Karena kita sudah bersahabat lama dan dia tahu juga baik-buruknya aku, maka dengan leluasa aku bertukar pikiran dan bercurhat tentang bagaimana menjadi seorang muslimah yang benar dalam pengertian agama.

Bersama dengan sahabatku itu, kematanpan hati telah aku pilih. Akal dan hati sudah bermufakat memilih Hijrah ke jalan Allah sebagai pilihanku. Yang pada akhirnya, aku memutuskan hubunganku dengan laki-laki yang dulu sempat membuatku kasmaran itu. Aku tak ingin jalan pilihanku terhambat oleh keridhoan-Nya karena diawali dengan hubungan berpacaran. Dari sini pula, aku mulai meninggalkan kebiasaanku menjadi fans k-pop, dan mengganti dengan banyak mengikuti kajian-kajian keIslaman. Terutama tentang bagaimana hakikatnya seorang muslimah. Baik itu melalui majelis-majelis keagaman maupun sosial media yang aku ikuti.

Satu hal yang sangat menjadi momok bagiku ketika aku memutuskan Hijrah, yaitu setelah menonton kajian tentang tanda-tanda akhir zaman yang saat ini sudah sangat jelas terlihat. Aku selalu sedih ketika nonton itu, dan membuatku kembali merenungi masa laluku yang selama ini aku habiskan hanya untuk memikirkan urusan dunia. Seperti akan berkarir dimana, lanjut pendidikan dimana, cari uang dimana, iri sama kepada yang sudah lebih dulu sukses dalam hal pendidikan maupun karirnya, sampai berpacaran, dll. Sedangkan akhir dari dunia ini hanya sebentar lagi dan urusan akhiratku, seperti benar tidaknya ibadahku dan cukup tidaknya amalanku tidak begitu terfikirkan.

Sedikit demi sedikit aku mulai merubah diri. Mulai dari cara berpakaian yang lebih syar’i daripada sebelumnya, dan juga bagaimana menjadi seorang pribadi muslimah yang baik. Karena, tidak ada waktu lagi jika hanya mengejar urusan duniaku dan mengejar urusan dunia tidak akan ada habisnya. Kemudian impianku untuk melanjutkan pendidikan (s2) dan menjadi wanita karir yang selama ini aku kejar aku kubur, dan menggantikannya untuk belajar agama.

Alhamdulillah. Puji kesyukuran aku panjatkan akan kehadirat-Nya sebagai Ilahirobbi, Dzat yang membolak-bolakan hati hamba-Nya yang berharap. Karena berkat Iradat-nya, aku mendapatkan jalan untuk menjadi lebih baik. Yakni, setelah mendaftarkan diri di salah satu pondok pesantren di Bandung, aku diterima dalam program beasiswa Tahfidz 30 Juz. Kini sebuah jalan menuju surga-Nya untuk menjadi lebih baik telah datang dihadapanku. Kemudian, aku pamit kepada orang tua untuk merantau lagi, setelah 3 bulan kembali ke kampung halaman dari menyelesaikan bangku perkuliahan di Yogyakarta selama 4 tahun.

Di pondok pesantren, baru aku sadar, diawal prosesku memulai untuk Hijrah, kalau menuju kepada-Nya tidaklah mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan. Berada di pondok pesantren aku merasa, bahwa pendidikan agama yang diajarkan melalui program kegiatannya tidaklah sesuai dengan ajaran agama yang diamalkannya. Di sana bukan ketenangan menuju jalan-Nya yang aku peroleh, melainkan kegelisahan dan rasa tertekan yang aku dapatkan. Apalagi, lingkungannya tidaklah mendukungku menuju jalan-Nya. Akhirnya aku memutuskan keluar.

Karena belum tahu mau ke mana setelah keluar dari pesantren itu, akhirnya aku tidak punya tempat tinggal dan hanya menginap di masjid-masjid terdekat ketika hendak beristrahat. Dalam sepi, dipenghujung seperempat malam-Nya, aku sering bermunajat pada-Nya agar selalu diberikan ketabahan dan kekauatan untuk tetap teguh dalam proses Hijrahku. Tapi, perjuanganku menghadapi cobaan tidak berhenti dari sini saja. Orang tua, Ayah, ketika mengetahui aku keluar dari pondok pesantren, memintaku untuk segera pulang ke rumah. Ayah juga bilang, kalau beliau belum mengikhlaskan pilihanku secara penuh.

Pertentangan pandangan antara aku dan ayah terhadap pilihanku benar-benar membuat aku merasa, bahwa perjuangaku untuk menjadi keluarga Allah itu tidaklah mudah dan harganya pun tidak murah. Aku merasa keadaan saat itu jauh lebih berat daripada masalah-masalah yang aku hadapi saat berkuliah. Memang sangat terbilang menyakitkan hati, ketika Ayah sendiri yang tidak merestui keputusanku. Tapi, aku tetap bersikekeh terhadap keinginanku untuk Hijrah kepada Ayah, dan jawaban Ayah masih tetap sama. Ibu juga mengomeliku karena sebelumnya aku sudah menolak kesempatan untuk bekerja di Bank dengan alasan menghidari riba.

Saat itu juga, selain Ayah memintaku untuk segera pulang ke rumah, beliau juga menyuruhku untuk meninggalkan impianku belajar agama. Bahkan, selain tidak merestuiku, Ayah juga bilang, jika permintaannya tidak bisa diterima maka beliau tidak akan menyanggupi biayaku di Bandung. Akhirnya dengan perasaan sedih aku hanya bisa menangis dan memasrahkan semua cobaan ini ke Ilahirobbi. Karena selain tidak ingin menyakiti perasaan beliau yang selama ini telah mengasuhku, aku sangat tahu ketika keputusan untuk tetap Hijrah tanpa adanya keridhoaan dari orang tua, maka ibadahku hanya akan berakhir pada kesia-siaan. 

Dalam perasaan sedih dan menangis yang tiada hentinya, lagi-lagi aku hanya memasrahkan pengaharapanku (Hijrah) kepada Allah. Bukan bermaksud untuk menyerah, tapi aku mencoba bertabah hati dan mengembali semua cobaan yang menimpaku ini pada suatu kepercayaan. Aku percaya pada-Nya. Sangat percaya, jika kita meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Dia akan menggantikannya dengan hal yang jauh lebih baik. Datanglah dan pasrahkan pengharapan kita kepada-Nya, niscaya Allah akan memberikan sebuah jalan. Karena, Allah adalah dzat yang Maha Bijaksana dan tak akan membiarkan hamba-Nya kembali pada keadaan kecewa. Juga, aku percaya bahwa apa yang aku jalani adalah hal baik dalam ajaran-Nya, dan Dia takkan juga menyia-nyiakan usaha hamba-Nya yang meminta pengharapan menjadi lebih baik.

Pada kondisi itu, pertentangan dengan Ayah, aku merasa seorang diri. Memang aku sudah terbiasa dengan kesendirian, tapi pada kondisi ini aku merasa sangat seorang diri sekali. Seolah manusia-manusia disekelilingku tak mengangapku sebagai suatu keberadaan. Hanya sebatas puing-puing kaca tak berharga. Seolah-olah aku adalah benda asing yang terjatuh dari langit, tak punya nilai, tak berhak disapa, dan tak berhak diberikan sebuah uluran tangan. Hanya sendiri, dan sangat merasa seorang diri. Hanya kepercayaanku akan pertolongan tangan-tangan-Nya lah yang membuatku merasa kuat menghadapi kondisi itu. “Aku harus tabah”, begitulah sepenggal kalimat untuk menghibur diri dalam kesendirianku.

Akhirnya, penantianku terhadap pertolongan tangan-tangan-Nya pun tiba. Keluargaku yang lain, Paman, Bibi dan Nenek yang mendukung pilihanku membantuku berbicara dengan Ayah. Berkat bantuan itu, aku mulai bisa meyakini Ayah. Ayah juga mulai mengerti dan memahami akan keseriusan niatanku. Kemudian, Ayah memberikan kesempatan padaku yang entah sampai kapan pemberian waktu itu akan berakhir untuk menunjukkan kepada beliau, bahwa aku telah merelakan impian-impianku dalam berkarir dan melanjutkan kuliah (s2) untuk belajar agama.

Sekarang, aku mulai kembali belajar agama di pondok pesantren lagi. Masih tetap Bandung. Daarut Tauhid pondok pesantren yang aku pilih, juga mengambil program Tahfidz Al-qur'an. Tapi tidak bermukim, hanya hari sabtu dan ahad saja. Sembari menunggu seleksi beasiswa program Tahfidz di pondok, aku mulai mencari kerja. Syukur-syukur dari pekerjaan itu dapat penghasilan yang bisa membiayai kehidupanku sendiri. Tidak menggantung pada orang tua kembali.

Dari perjalanan singkatku ini pula, membuatku sadar bahwa, hidayah Allah tidak akan datang jika kita hanya menunggu, oleh karena itu kita harus jemput. Manusia harus berusaha namun hasil tetap Allah yg menentukan. Hidup pasti mudah, meski cobaannya seberat apapun, jika kita selalu berhusnudzon dalam melibatkan Allah di segala hal. Sekarang aku sudah serahkan segalanya ke Allah. Allah pasti tidak akan membuat hamba-Nya kecewa. Justru semakin berat hidup seseorang, maka semakin ia dicintai Allah karena ia dapat perhatian lebih dari Allah. Hanya hambanya yang tabah dan beristiqomah-lah yang akan sampai pada surga-Nya. Karena Surga Allah tidaklah mudah dan tidak murah.

Hingga saat ini, baik itu pondok pesantren atau di tempat lainnya, aku masih ingin terus belajar agama. Terus memperbaiki akhlaq, aqidah, dan juga masih ingin memperbaiki penampilanku dengan berniqob/cadar. Aku mohon doanya, semoga orang tuaku telah benar-benar ridho dengan niatanku ini. Karena, ridho Allah adalah ridho orang tua. Aku tidak mau amal ibadahku sia-sia karena ternyata orang tuaku masih ada rasa tidak ridho dihatinya meski hanya sedikit. Aku juga mohon doanya, agar aku selalu diistiqomahkan dalam proses Hijrah menuju Allah ini.

Semoga kalian yang mau ikut mendoakan harapan-harapanku juga diijabah harapan-harapan kalian semua oleh Allah. Hanya Allah yang mampu membalas segala kebaikan kalian. Salam hangat dariku: seorang perempuan muslimah yang ingin menjadi lebih baik di sisi-Nya.

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

HMI, Alasan Mengapa Aku Menjadi Bagian darinya

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Inuyasha dan Kikyo: Cinta Tak Sampai

Puisi: Langit Jogja