Enggak Gampang Hidup di Negeri Agamis

Memang tidak gampang hidup di negeri yang sangat agamis, yang kesemua aspek dari kehidupan tingkah laku rakyatnya harus bersumber dari nilai-nilai agama. Begitu susah dan tidak berperi. Hidup di negeri agamis dalam pandangan penulis, tidaklah gampang dan serba salah.

Gimana tidak serba salah, akibat kultur agama yang begitu kuat dari berbagai aspek di setiap lini kehidupan, terutama oleh yang mayoritas, kebebasan berpikir kita-pun terbatasi. Contohnya, seperti sedikit kita berpikir radikal saja sudah dibilang liberal. Kalau sudah disebut liberal lantas diasingkan. Padahal kan berfikir radikal itu penting supaya kita dapat berpikir sampai mendasar dan sampai kepada hal prinsip.

Artinya, berpikir radikal itu menjadi suatu proses dimana kita menelaah persoalan sampai keakar-akarnya supaya mendapat jawaban yang lebih hakiki. Dan mencari jawaban hakiki sudah menjadi fitrah dari kemanusiaan manusia.

Tidak hanya itu saja ketidak-gampangan hidup di negeri yang serba agamis ini. Meskipun segenap rakyat di negeri agamis ini sudah punya agama, ternyata masih saja digolongkan sebagai kafir karena perbedaan keyakinan. Aish, sudahlah, hidup di negeri agamis ini memang tidaklah gampang dan serba salah.

Seolah rakyat di negeri agamis ini lupa, kalau perihal kenyakinan terkait benar dan salah itu hanya urusan pribadinya dan Tuhan saja. Setidaknya menurut pandangan penulis. Tetapi, berbeda jika kita melakukan interaksi sosial sesama rakyat atau manusia, karena rakyat di negeri agamis ini perihal keyakinan itu beragam, maka kita haruslah menggunakan perihal sikap baik dan buruk lewat cover toleransi dan kebhinnekaan. Bukan lantas langsung melegitimasi benar dan salah perihal keyakinan.

Tentu ini bukan tindakan sekularisasi, bukan. Melainkan bagaimana kita bisa bisa bersikap hidup berdampingan dan saling menghargai satu sama lain di negeri ini. Karena menerima takdir berbangsa di negeri agamis ini sebagai negara di Indonesia, berarti segenap rakatat harus siap pula menerima kenyataan keberagaman dari berbagai segi perbedaan.

Menerima nasib di negeri agamis ini sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berarti harus siap pula menerima bentuk negara ini terdiri atas wilayah yang luas dan tersebar dengan bermacam adat, suku, etnis, budaya, serta keyakinan yang berbeda. Dan menerima hidup di negeri agamis ini sebagai deratan perjalaan panjang sejarah berbangsa dan bernegara di Indonesia, berarti kita harus siap pula bersikap toleran dan terbuka. Bukan malah saling menghujat, mengintimidasi, dan bahkan sampai mendeskriminasi.

Jika kita menengok dari kehebohan media yang sempat sangat ramai kemarin lalu. Tentang vonis penjara 2 tahun kepada Ahok karena dituding telah menistakan agama itu. Sependek pengetahuan penulis, penodaan atau penistaan agama itu sudah absurd sejak pikiran. Sudah tidak benar sejak dalam konsep-lah perihal penistaan agama itu.

Melihat fenomena dari sisi lain bukan lantas penulis ingin memihak Ahok, tidak. Ini hanya teleah dan pandangan penulis. Yaitu, ingin berbagi subjektifitas pandangan saja. Apakah perihal tervonisnya Ahok sebagai tersangka itu memang benar-benar masalah penistaan agama atau hanya bumbu-bumbu penggorengan politik saja. 

Fenomena persoalan penistaan agama kemarin lalu itu begitu penting untuk kita telaah kembali, karena perpecahan dan kekerasan atas nama SARA itu telah merusak tenunan kebangsaan dan kebernegaraan kita di negeri agamis ini.

Mencoba menelaah keabsurdan penistaan agama yang sudah tidak benar sejak dalam absurd sejak pikiran itu, penulis senada dengan pendapat tulisan Arman Dhani (10 Mei 2017) tentang: Siapa memang yang berhak mewakili agama? Siapa yang berhak menerjemahkan tafsir agama? Tentunya harus ada kualifikasi tersendiri, kan?.

Apa para hakim bisa melepaskan sisi subjektifitas kedirianya dari sudut pandang tekanan masa politik dan pengalaman pribadi ? Apa hakim juga bisa menelaah dan mengurai perihal penistaan agama tersebut dari banyaknya tafsir dan mazhab, yang dimana setiap mazhab punya interpertasinya sendiri terhadap tafsiran agama Islam?

Lanjutnya, jika tafsir itu tidak tunggal, pasti akan bermasalah pada penentuan menistai atau tidak menistai agama itu. Apalagi sejak tahun 1968 dalam laporan The Indonesia Legal Resources Center (ILRC), disebutkan ada banyak kasus penistaan agama yang proses vonisnya tidaklah didasari pada interpertasi hakim terhadap tafsir ahli agama, tapi pada tekanan masa yang protes.

Sedikit bercanda namun juga cukup penting untuk kita lihat sebagai fenomena pula. Lebih tidak gampang lagi, kata Ilham Ibrahim (Editor-in-Chief di Bangor.in) media yang sedikit cengos banyak ngaos itu, hidup di negeri yang serba agamis ini sampai kepikiran tidak punya agama. Alias atheis. Jadi atheis sungguh tambah susah, tambah tidak berperi dan tambah tidak gampang dan sangat serba salah.

Jangan sekali-kali kita mencoba jadi atheis di negeri yang serba agamis ini. Meskipun dari kita suka berfilsafat seperti Karl Marx “Agama Candu” dan Friedich Nietzsche “Tuhan Telah Mati”, janganlah sampai. Penulis yang pernah membayangkan saja jadi ngeri-ngeri sedap.

Gimana tidak ngeri-ngeri sedap, jika menjadi atheis di negeri yang bertuhan ini sulitnya Naudzubillah. Seperti kalau dari jadi atheis, kita harus berpura-pura memiliki agama supaya dapat membuat KTP dan bisa kerja, serta kita pun harus sok-sok-an suci di lingkungan masyarakat supaya dipandang sebagai menantu harapan mertua.

Edan, kan? Mengaku jadi atheis di negeri yang serba agamis dan bertuhan dalam bayangan penulis, berarti kita sama seperti halnya bersumpah untuk selibat, kayak Laksamana.

Ini hanya cetusan rasa penulis yang hidup di negeri agamis. Hanya cetusan rasa dalam nuansa ketidakgampangan hidup di negeri ini. Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis ingin mengajak segenap rakyat di negeri agamis ini supaya sama-sama berfikir dan bertindak bagaimana lebih harmonisnya hidup berdampingan di negeri agamis ini dengan ber-cover toleransi dan kebheninekaan. Tidak harus berfikir sama-lah kalau kata penulis muda Afi Nihaya Faradisa, hanya sama-sama berfikir.

Jika kita tidak bisa melakukan hal itu, marilah kita tertawakan negeri agamis ini. Menertawakan karena sudah kehilangan moral kemanusiaan dari kefanatikan agama. Terus salah satu dari kita yang sadar bagaimana lebih harmonisnya hidup berdampingan di negeri agamis ini dengan ber-cover toleransi dan kebheninekaan, bawalah headlamp, tidak harus lilin seperti yang dilakukan oleh Friedich Nietzsche.

Kemudian masuk di tengah-tengah hiruk piruknya masyarakat agamis ini di siang bolong dan berteriaklah: “God is Dead, God Is Dead”, sebagai kiasan masyarakat yang telah kehilangan moral kemanusiaan dalam bertuhan dan tentu saja beragama.

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Primordialisme dalam Organisasi Mahasiswa

HMI, Alasan Mengapa Aku Menjadi Bagian darinya

Inuyasha dan Kikyo: Cinta Tak Sampai