Primordialisme dalam Organisasi Mahasiswa

Indonesia sebagai negara kepulauan yang dimana setiap kepulauannya masih terbagi lagi dari daerah-daerah yang memiliki identitas berbeda-beda, menjadikan negara berasaskan Pancasila ini sebagai negara kesatuan yang memiliki keberagaman suku, ras dan agama. Majemuk. Atau bisa kita sebut dengan bhineka tunggal ika.

Kemudian, salah satu konsekuensi dari kenyataan adanya keberagaman dan juga dari perasaan keberbedaan yang terlalu berlebihan itu, memunculkan paham primordial, atau primordialisme. Yakni suatu paham yang menunjukkan sikap berpegang teguh pada nilai-nilai yang sejak semula melekat pada diri indvidu, seperti kelompok suku, ras, dan agama.

Setidaknya ada dua faktor, dari artikel yang pernah saya baca, yang begitu kuat mengapa primordialisme bisa tumbuh dan berkembang di berbagai aspek kehidupan, terutama di aspek sosial Kampus. Pertama, adanya sesuatu yang dianggap istimewa oleh individu dalam kelompok atau perkumpulan sosial. Kedua, adanya suatu sikap untuk mempertahankan pada kelompok atau kesatuan sosial terhadap ancaman dari luar.

Selain dari dua faktor penyebab di atas, primordialisme juga bisa tumbuh dan berkembang disebabkan adanya nilai-nilai yang berhubungan dengan suatu sistem keyakinan, seperti nilai-nilai keagamaan dan pandangan.

Primordialisme Mahasiswa
Kebanyakan dari mahasiswa yang berkuliah di kota-kota besar, seperti di Jakarta, Bandung, Bogor, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan kota lainnya, merupakan mahasiswa perantau dari daerah-daerah lain yang memiliki suku beragam. Sehingga kemunculan primordialisme di kalangan mahasiswa bisa berkemungkinan terjadi, dan sangat sulit terhindari dalam bersosialnya.

Adapun penyebab adanya primodialisme mahasiswa ini akan membentuk beberapa akibat berantai, seperti; pengelompokkan atau pengkontak-kotakan sosio-kultural mahasiswa berdasarkan kesukuan atau kedaerahan (juga seperti organisasi daerah), intoleransi dan juga keinginan berkuasa di organisasi mahasiswa berdasarkan inisiatif primordialisme.

Organisasi Mahasiswa bersistem Primordialisme
Disadari atau tidak, organisasi mahasiswa yang bersistem primordialisme di dalam kampus akan membentuk pola kepemimpinan suatu organisasi yang intoleransi, penolakan perbedaan dan multikulturalisme, dimana kepemimpinan beserta kebijakannya hanya berdasarkan satu sudut pandang, subjektif, tidak terbuka, tidak dapat mewakili semua golongan mahasiswa, menghambat asimilasi dan integrasi, deskriminasi, dan akhirnya otoriter.

Hal tersebut bisa berkemungkinan terjadi, karena sikap primordialisme dari kesukuan merupakan sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya, tempat kelahiran. Dan yang yang berbeda dengan pandangannya tidak bisa diterima. Kaku.

Perlu Kedewasaan Berpolitik di Organisasi Kampus
Pertanyaaan selanjutnya adalah; bagaimana kita menanggulangi supaya mahasiswa tidak terjebak dalam bentuk organisasi yang bersistem primordialisme?

Pertanyaan ini penting untuk dijawab karena kalau kita tidak mengerti dan memahami sampai dimana batas-batas tertentu dalam berorganisasi (intra kampus), maka kita akan terjebak ruang organisasi inklusif, yakni tertutup dari bentuk kritik.

Sejauh pemahaman penulis, hal terpenting untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah, perlunya kedewasaan berpolitik di organisasi kampus mengenai cara pandang. Kedewasaan cara pandang yang dimaksud adalah, bagaimana kita melihat mekanisme kerja organisasi dari sudut pandang yang objektif. Yakni sebagaimana adanya, bukan ada apanya. Tidak membeda-bedakan.

Cara pandang ini teramat penting karena perbedaan kesukuan, ras dan kemudian budaya sudah menjadi ketetapan pencipta, sunnatullah. Tidak ada sesuatu di muka bumi yang diciptakan secara kesamaan yang benar-benar sama dan autentik (asli). Menerima kehidupan berarti menerima konsekuensi keniscayaan perbedaan.

Apalagi jika diambil dari sudut pandang kebudayaan, tidak ada budaya maupun suku yang berdiri sendiri, atau single fighter. Proses terjadinya budaya adalah proses asimilasi dan integrasi dari dua atau lebih unsur budaya yang berbeda yang kemudian menyatu dan membentuk budaya baru.

Tulisan ini disampaikan pada forum diskusi yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa (Himmah) Pon.Pes Ass-Salafiyah Koordinator Yogyakarta, pada hari Ahad, 21 Mei 2017.

Comments

Post a Comment

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

HMI, Alasan Mengapa Aku Menjadi Bagian darinya

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Kecabulan Senja: Islam Tanpa Bercinta

Antara Idealisme dan Politik: Ironi Perpecahan Duo HMI