Satu Paragraf: Bunuh Diri Filosofis

Mulai hari ini aku harus memikirkan masalah-masalah lain. Terutama terbelengkalainya masalah kuliah dan meninggalkan masalah-masalah yang berputar-putar dalam skala kecil ini. Persoalan kuliah yang tidak tahu sampai kapan ini harus dengan cepat aku pertanggungjawabkan. Tanpa itu, aku tidak bisa memandang masa depan secara tegas. Sebuah harapan orang tua kepada anaknya yang telah lama kuemban ini, kuusahakan secepat mungkin rampung. Meski begitu, aku harus flasback ke belakang. Sambil melihat, memilah dan mencari makna dari momen-momen masa lalu yang telah kutempuh. Terutama momen-momen benturan yang barusan terjadi. Tanpa begitu, aku hanya akan menjadi seorang dengan berkepribadian tanpa proses. Bisa dibilang agak sakit dan menyakitkan jika kembali mengenang momen-momen yang pahit itu. Tapi, sekali lagi, tanpa seperti itu saya akan tetap menjadi seorang aku yang hanya bisa mengaku saja, tanpa pemahaman betapa makna proses itu adalah sebuah pijakan untuk melompat. Jadi, aku harus mengurai diriku dan membunuh diriku secara filosofis. Aku pun harus menginsyafi pertentangan dalam diri ini, pada suatu kenyataan bahwa betapa paradoks kehidupan, dan mengamini bahwa segala sesuatu adalah sunnahtullah Nya. Dengan begitu, aku bisa mencari dan terus memaknai siapa aku ini sebenarnya dalam satu proses pemerasan makna masa lalu. Oke. Jika dilihat dari internal, ada beberapa hal yang menjadi kelemahanku. Pertama, seringkali aku melihat fenomena sosial ini dalam bentuk yang sangat general, atau umum. Bukan dengan bahasa khusus. Hal inilah yang menyebabkan pergaulan sosial yang aku jalani dan lalui hanya sebatas pembelajaran saja, tanpa bisa membendung intrik-intrik lain dari luar. Akibat kelemahan pertama ini menyebabkan aku cenderung  melihat begitu rasional pada sisi luar dan begitu intuitif atau perasa jika dari dalam. Sehingga, itulah aku yang kedua, begitu polos. Ketiga, benar apa yang sering dikatakan kawan karibku di Komisariat FTI UII dulu, Kakanda Eko Rudi Setiawan, bahwa aku seringkali melihat sesuatu yang ada hidup ini dalam skala besar dan melupakan hal-hal kecil. Efeknya, tentu saja berakibat pada ketidak-pekaanku terhadap sesuatu yang kuanggap sepele tapi bisa berakumulasi menjadi sesuatu yang begitu besar dan membenturku dengan begitu keras. Adapun keempat, aku benar benar tidak bisa membedakan apa itu makna tempat tinggal dan tempat singgah. Kurang berfikir mendasar dan bebas. Harusnya, aku memandang HMI sebagaimana keilmuan filsafat yang telah lumayan lama kutinggal, sebagai tempat singgah bukan tempat tinggal. Aku terlalu mengagungkan HMI sebagai rumah tinggal yang baik, bukan tempat singgah yang baik. Menjadikan HMI sebagai sebuah ruang ideal dan memaksaku untuk terus ikut dan naik turun dalam setiap degup jantungnya, dan melupakan ada tanggung jawab lain di luar yang harusnnya aku selesaikan dengan cepat. Ini bukan maksudku mengatakan bahwa organisasi Himpunan ini tidak baik. Tanpa kupungkiri, oleh HMI lah aku dapat berpikiran seperti ini. Pun karena HMI pula aku mejadi seperti apa aku yang saat ini. Aku harus jujur bahwa HMI lah yang paling banyak mengubah karakterku melihat apa yang terjadi dalam diriku ini. Adapun permasalahan kelima  adalah, katanya, aku memiliki sifat yang tidak bagus. Egois. Efeknya, kata teman-teman, aku tak bisa menerima kritikan. Permasalahan inilah yang paling fatal dan harus aku bunuh secara cepat. Karena persoalan ini, katanya, aku tidak bisa menerima kenyataan untuk menjadi yang lebih baik lagi. Tapi, perihal keegoisanku sebenarnya adalah pertentangan diri antara keinginan menjadi lebih baik. Apakah ada manusia yang bersedia dikatakan tidak mau jadi egois jika apa yang menjadi pemikiran dan keyakinannya dibekukan dengan alasan tidak logis? Aku masih ingat jelas saat itu. Ada orang yang mengkritikku bodoh. Bahkan teramat bodoh, katanya. Jelas aku menolaknya. Bukannya aku tidak mau dikritik dan mengatakan bahwa kritik itu tidak membangun. Tapi, apakah orang yang mengatakan itu tahu aku secara utuh? Sehingga tidak terhindar dari Fallacy, kesalahan berfikir? Juga apakah orang itu memiliki data-data secara valid mengenai diriku saat membangun proposisi premis mayor dan minor sampai membuat konsklusi seperti itu? Jika premis yang dibangun hanya diambil secara subjektif melalui perkiraan dan kemungkinan, ya sudahlah. Eh, aku sampai lupa kalau sudah banyak orang yang hanya berkata-kata saja dan melupakan kalau kata-katanya itu merupakan konsep yang mewakili realitas. Toh, sudah banyak juga orang-orang yang hanya bisa berkata-kata dan tak tahu kalau kata-katanya yang menjadi pernyataan kritik itu adalah suatu kesimpulan yang dibangun melalui proposisi premis-premis yang harus divalidasi kebenarannya. Terlebih, saat ini makna dari setiap kata seringkali diubah artinya, dan setiap arti kata diubah maknanya dari realitis objektif. Jadi, lewat berfikir terlalu logis inilah, kuakui, terlepas itu kategori salah dan benar, aku menjadi orang yang kaku dalam berkomunikasi dan berkompromi. Inilah kelemahanku yang sekian. Semoga saja melalui intropeksi ini membantuku untuk segera melihat dan menarik kedirianku menjadi lebih baik, dengan proses bunuh diri secara filosofis: Sebuah proses pembunuhan jiwa, dengan cara membunuh akal atau pikiran.Yaitu prosesi pembunuhan diri secara bijak, bunuh diri filosofis bukan bunuh diri shofis.

  

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

HMI, Alasan Mengapa Aku Menjadi Bagian darinya

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Satu Paragraf: Wanita dalam Dekapan Imajinasi

Pulang, Karya Leila S. CHudori