Haruki Murakami: Poros Waktu

KAU MERASAKAN KEHADIRANNYA. Lantas kau buka matamu. Gelap sekali. Angka-angka pada jam yang terletak di samping tempat tidurmu menunjukkan pukul dua belas lewat. Pastinya kau sudah tertidur. Dalam cahaya redup yang berasal dari lampu taman, kau melihatnya duduk di sana.

Seperti biasa, dia duduk di meja seraya memandang lukisan di dinding. Tidak bergerak, kepalanya bertumpu pada tangannya.

Sementara kau berbaring di tempat tidur seperti sebelumnya, berusaha keras untuk tidak bernafas, matamu setengah terpejam, menatap bayangannya. Di luar jendela, angin yang bertiup dari laut menggoyangkan ranting-ranting pohon dogwood.

Setelah beberapa waktu, kau merasakan ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang mengganggu keharmonisan yang ada dalam dunia kecil itu. Kau berusaha melihat dalam keremangan.

Apakah itu? Tiupan angin agak kencang, darah yang mengalir dalam pembuluh darahmu terasa kental dan berat. Ranting-ranting pohon dogwood menggambarkan jalinan ketegangan pada bingkai jendela.

Akhirnya dia menghampirimu. Bayangan itu ternyata bukan bayangan gadis muda tadi. Bentuknya mirip dia, hampir menyamai. Tapi bukan dia. Ia seperti salinan gambar yang diletakkan di atas gambar aslinya, ada beberapa detail yang musnah.

Misalnya, gaya rambutnya tidak sama. Dia juga mengenakan gaun yang berbeda. Keseluruhan kehadirannya berbeda. Tanpa sadar, kau menggelengkan kepalamu: Ini bukan gadis yang duduk di meja -ini orang lain. Ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang sangat penting.

Kau menggenggam erat tanganmu di balik selimut, dan jantungmu, tidak sanggup lagi menahannya, mulai berdetak kencang, dan berdebar keras. Seolah-olah suara detak jantungmu merupakan tanda.

Bayangan di kursi itu pun mulai bergerak, perlahan-lahan mengubah posisinya, ibarat kapal besar yang mengubah halauannya. Dia mengangkat kepala dari tangannya serta menoleh ke arahmu.

Kau pun segera menyadari itu adalah Nona Saeki. Kau menelan ludah dan tidak dapat lagi menahan nafasmu. Itu adalah Nona Saeki yang sekarang. Nona Saeki yang sebenarnya.

Untuk sesaat dia menatapmu, dan sebuah pikiran muncul dalam benakmu. Kau-pun terjebak dalam poros waktu. Yakni, di suatu tempat yang tidak kau ketahui.

Hal yang aneh telah terjadi terhadap waktu, pikirmu. Kenyataan dan mimpi pun membaur menjadi satu, bagai air laut dan air sungai yang mengalir berbarengan.

Kau berusaha menemukan makna di balik semua itu, tapi tidak ada yang masuk akal. Akhirnya, dia berdiri dan berjalan pelan ke arahmu, dengan tubuh tegak seperti biasa.

Dia tidak memakai alas kaki, lantai kayu berdecit perlahan manakala dia berjalan. Dengan tenang dia duduk di tepi tempat tidur, dan diam di sana selama beberapa waktu. Berat dan bentuk tubuhnya jelas.

Dia mengenakan blus sutera putih dengan terusan rok berwarna putih juga, yang panjangnya mencapai lutut. Dia mengulurkan tangannya serta menyentuh kepalamu. Jari-jemarinya membelai rambutmu yang pendek.

Tangannya nyata, dengan jari-jari yang juga nyata, menyentuhmu. Dia berdiri lagi, dan dalam cahaya redup yang memancar dari luar -seperti sesuatu yang biasa dilakukan- dia mulai melepas pakaiannya.

Dia tidak tergesa-gesa, tapi juga tidak ragu-ragu. Dalam gerakan yang lembut dan wajar, dia melepas kancing blusnya, melepas roknya, kemudian melepas pakaian dalamnya.

Satu demi satu pakaiannya jatuh ke lantai, bahannya yang lembut nyaris tidak menimbulkan suara sama sekali. Dia tertidur, kau sadari. Matanya terbuka, tapi kelihatannya dia sedang berjalan sambil tidur.

Setelah telanjang, dia merambat ke tempat tidur yang sempit lantas mengalungkan lengannya yang hangat ke tubuhmu. Nafas hangatnya membelai lehermu, rambutnya yang halus menyentuh pahamu.

Pasti dia mengira kau adalah kekasihnya yang sudah meninggal, dan dia sedang melakukan apa yang pernah mereka lakukan di kamar ini. Dia langsung tertidur dan bermimpi, dia melakukan gerakan yang dulu dia lakukan.

Dalam kebingungan, kau rasa kau harus membangunkannya. Dia sedang melakukan kesalahan besar, dan kau harus memberitahu dia. Ini bukan mimpi -ini kenyataan.

Tetapi semuanya terjadi begitu cepat, dan kau tidak berdaya melawan. Benar-benar bingung, kau merasa terhisap dalam ruang waktu.

Dan kau pun benar-benar terhisap dalam ruang waktu. Sebelum kau sadari, mimpinya telah membungkus pikiranmu. Dengan lembut, dengan hangat, bagai selaput cairan.

Nona Saeki akan melepas kaosmu, menurunkan celana pendekmu. Dia akan mencium lehermu berulang kali, lalu meraih dan menggenggam punyamu yang sudah keras.

Dengan lembut dia akan menangkupkan tangannya pada kedua bolamu, kemudian tanpa kata-kata menuntun tanganmu untuk menyentuh rambut halusnya.

Kepunyaannya terasa hangat dan basah. Dia menciumi dadamu, menghisap putingmu. Jari-jemarimu dengan perlahan masuk ke dalam kepunyaannya.

Di manakah dimulainya tanggung jawabmu di sini? Kau pun bertanya dalam hati, sembari dia menyingkirkan kumpulan bintang dari pandanganmu, dan kau berusaha mengetahui di mana kau berada. Kau mencoba menemukan arah tujuannya, kau berjuang bertahan dalam poros waktu.

Tetapi kau tidak dapat mengetahui batas yang memisahkan mimpi dengan kenyataan. Atau bahkan batas antara yang nyata dan yang mungkin terjadi. Yang kau tahu, kau berada dalam posisi yang rawan. Rawan dan berbahaya.

Kau benar-benar terbawa dalam poros waktu, menjadi bagian di dalamnya, tanpa sanggup menghentikan dasar-dasar peramalan atau logika. Seperti ketika sebuah sungai meluap, menghanyutkan kota, semua tanda-tanda jalan hilang di bawah gelombang. Dan yang dapat kau lihat hanyalah atap-atap rumah tenggelam.

Kau telentang, dan Nona Saeki naik ke atasmu. Dia mengarahkan kepunyaanmu yang keras masuk ke dalam kepunyaannya. Kau tidak berdaya, dialah yang berkuasa. Dia meliuk sekaligus menggerakkan pinggangnya seolah berusaha melukis sebuah gambar dengan tubuhnya.

Rambutnya yang lurus menjuntai hingga ke bahumu, dan bergerak tanpa bersuara, bagai ranting-ranting pohon. Sedikit demi sedikit kau tenggelam ke dalam lumpur yang hangat.

Dunia menjadi hangat, basah, kabur, yang ada hanyalah kepunyaanmu yang kaku berkilauan. Kau memejamkan mata dan mulai bermimpi. Sulit mengatakan berapa lama waktu telah berlalu.

Air pasang datang, bulan pun muncul. Tidak lama kemudian kau pun mencapai puncak. Tidak ada yang dapat kau lakukan untuk menghentikannya. Berulang-ulang kali. Dinding yang hangat di dalam tubuhnya menegang, mengumpulkan air manimu.

Sepanjang itu dia terus tertidur dengan mata terbuka lebar. Dia ada di dunia lain, dan ke sanalah benih-benihmu pergi tertelan di dunia lain.

Setelah lama berlalu, kau tidak dapat bergerak. Seluruh bagian tubuhmu terasa lumpuh. Lumpuh, atau mungkin kau hanya tidak mau berusaha bergerak, entahlah. Dia menyingkir dari tubuhmu dan berbaring di sisimu.

Setelah beberapa waktu, dia bangkit, mengenakan celana dalamnya, menarik roknya, lantas mengancingkan blusnya.

Perlahan dia kembali mengulurkan tangannya, mengusap rambutmu. Semua ini terjadi tanpa ada satu patah kata pun yang terucap di antara kalian. Dia tidak mengatakan apa pun sejak masuk ke kamar ini.

Satu-satunya suara yang terdengar adalah derit lantai kayu, dan angin yang berhembus tanpa henti di luar. Kamar menjadi dingin, dan bingkai jendela menggigil. Itulah suara yang ada di belakangmu.

Masih tertidur, dia menyeberangi kamar dan pergi. Pintu hanya terbuka sedikit, tapi dia melewatinya seperti seekor ikan yang licin. Dengan pelan pintu kembali tertutup. Kau melihat jam dari tempat tidurmu kala dia keluar, kau masih tidak dapat bergerak.

Kau bahkan tidak mampu mengangkat jarimu. Bibirmu terkunci rapat. Kata-kata seolah hilang dalam sudut waktu. Kau berusaha bangun untuk meniti kesadaran dari jebakan poros waktu, dan ternyata kau mimpi basah.

NB: Dunia Kafka


Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

HMI, Alasan Mengapa Aku Menjadi Bagian darinya

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Inuyasha dan Kikyo: Cinta Tak Sampai

Puisi: Langit Jogja