Satu Paragraf: Wanita dalam Dekapan Imajinasi

Aku telah memilikinya. Poros ruang dan waktu yang dahulu menjadi penghalang dan pemisah antara harapanku dan impiannya, kini berhasil aku lululantakkan. Ini kekuatan imajinasi. kami telah menyatu menjadi kesatuan dalam bingkai cinta. Tidak ada lagi kata keakuan diantara kami. Tidak ada lagi kalimat aku yang mencinta dan dia yang kucinta. Cinta telah mewujud dan mengikat kami dan melepaskan aku dan dia menjadi satu. Gemuru suara ombak pantai dan burung camar yang beterbangan di atasnya, tidak lagi kuhiraukan. Senja juga tidak lagi kupedulikan kehadirannya. Tidak seperti dulu. Juga tidak seperti mereka, menanti kehadirannya di ufuk barat. Sepintas, kulihat aktivitas lalu lalang manusia datang dan pergi menggunakan pakaian serba terbuka dan seksi. Mereka tenggelam dalam kegiatan mereka tanpa memperdulikan yang lain. Ekspresi mereka nampak menerangkan kebahagiaan. Kuamati kegiatan mereka secara seksama, sembari membayangkan keadaan hari mendatang. Dapatkah mereka bertahan dengan keadaan seperti itu? Dapatkah mereka menyelesaikan tetek bengek persoalan hidup dengan segala persyaratan kriteria di dalamnya? “Akh... aku sudah muak dengan urusan dunia ini,” gerututku. Aku ingin menjadi manusia lain dan berbeda. Menyingkar dunia ini dan menggantinya dengan duniaku sendiri. Aku harus lepas dan terbebas dari dunia ini, dunia fana. Dunia yang selalu menimbukan persoalan. Dunia dimana saat kau berharap, kau harus berebut dengan harapan orang lain. Dunia yang selalu memberikan segala persyaratan kriteria agar kau dapat dicintai. Seperti biasa, dia, wanitaku, datang menghampiri duniaku dengan pakaian serba putih. Langkah kaki kecil itu terlihat gontai dan gemulai, seraya langkah bidadari saat kau memangkas jarak di negeri kayangan. Rambutnya panjang diikat rapi ke belakang, wajahnya sangat halus dan tampak cergas dengan mata yang indah. Tidak ada cela pada bagian tubuhnya. Dia melihatku dengan tatapan syahdu, dan terlukislah kaidah keindahan itu: senyum tersamar namun tampak pasti dengann tarikan kedua bibirnya ke samping sepanjang 2 senti. Senyuman itu saja mengingatkan aku pada titik kecil dari seberkas sinar yang hanya dapat aku temukan pada sebuah petak ruang terpencil dan tersembunyi di dalam diriku. Sebuah senyum yang kesempurnaanya tidak dapat aku jelaskan dengan pasti, tapi selalu memberikan makna dari alegori kehidupanku. Alegori dimana aku tidak lagi bisa membedakan mana yang nyata dan yang fana, hanya cinta. Aku makin terjerat dan terus melaju menerobos poros ruang dan waktu. Gerak penaku terus bekerja sesuai dengan perintah kekuatan imajinasi. Adapun di luar, mereka mulai sibuk membicarakan senja yang datang. “Lihat itu, itu senja paling keemas-emasan," tunjuk mereka sembari bergumam indah. Mereka mengabadikan momen senja dengan kamera sederhana. Ada yang mengabadikan momen itu dengan bergandengan tangan, berpelukan, dan berciuman mesra. Tapi, sekali lagi, aku sudah tidak peduli dengan aktivitas mereka. Itu bukan duniaku. Entahlah. Aku tak pernah tahu apa yang ada dalam benak mereka tentang senja. Apakah mereka tidak tahu bahwa senja adalah pembatas antara siang dan malam dan menyebabkan dua entitas ini tidak pernah bersatu. Hadirnya senja merupakan penanda berakhirnya cerita dari siang kepada malam ahar tidak perlu lagi menunggu untuk bisa berjumpa. Eksistensi senja melambangkan bahwa kehadirannya adalah bentuk kemirisan dari keindahan. Bahkan senja paling keemas-emasan sekalipun, seperti kata Seno Gumira Aji Dharma, hanya akan berakhir oleh malam begitu gelap dan sangat menyedihkan. Aku harus fokus dalam duniaku. Lewat derit gerakan pena di atas kertas, aku bisa merasakan harum tubuhnya yang selama ini aku impikan dan menyadarkan bahwa duniaku semakin mendekat. Pena kecil itu terus menenuni bait-bait kata untuk melukiskan dirinya dalam dekapan imajinasi: senyum 2 senti itu, andeng-andeng itu, dan lesung pipit itu, perlahan namun pasti masuk secara utuh. Euforia dalam diriku meningkat drastis. Dia dekap dan membelaiku dengan mesra. Kudekap dia semakin dekat, dia pun membelaiku tambah mesra. Tidak ada bahasa di antara kami, cinta telah meleburkan kesemuanya. Akal juga tidak punya eksistensi, hanya hati yang berkendak bebas dengan tenunan cinta. Tidak ada ruang dan tidak ada waktu, cinta kami pun abadi dalam dekapan imajinasi.

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

HMI, Alasan Mengapa Aku Menjadi Bagian darinya

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Puisi: Langit Jogja